(Bab 9/Part 25) Rindu

53 6 7
                                        

Sore itu hujan, membuat semua seolah tampak sunyi. Lona menyeruput teh dari cawan kecil yang sudah hampir dingin.

"Eh, kamu enggak mandi?" Lona dikejutkan oleh sosok Alva yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu.

"Nanti." Jawabnya singkat. Alva duduk disamping Lona. Memandang gadis itu yang tiba-tiba tak banyak bicara. "Cantik." Ucapnya lirih namu dapat di dengar oleh Lona.

"Iya, Weni emang cantik." Ucap Lona. Ia memandang tetes demi tetes air yang jatuh. Sama sekali tak berniat memandang lelaki di sampingnya.

"Bukan, bukan Weni. Ya, dia emang cantik." Alva diam sejenak. Meyakinkan diri untuk mengucapkan kalimat yang telah terangkai indah dipikirannya. "Kamu cantik. Bukan, bukan parasmu. Tapi hatimu." Alva memang bukan seorang laki-laki yang puitis.

Lona tersenyum samar. "Gue rindu."

"Rindu siapa? Aku? Aku disini. Bagaimana bisa kamu merindukan aku?" Bahu Lona bergetar mendengar perkataan Alva. Alva selalu bisa membuatnya tertawa. Namun terkadang membuatnya rindu.

Lona diam sejenak, "Gue rindu Ainun."

Alva mengerutkan keningnya. "Ainun siapa? Istrinya Presiden Habibie?"

Lona mengeleng. "Sahabat pena." Lona tersenyum samar dan kemudian berdiri. Diulurkan tangannya agar dapat menyentuh air hujan yang jatuh ke bumi. "Hujan yang jatuh ke bumi membawa filosofi tersendiri. Kita tak akan selalu di atas. Sesekali kita harus turun dan mengisi celah-celah kosong di bumi. Agar kita mengerti semua."

"Lona." Lona membalikkan tubuhnya. Kini Alva dan Lona saling berhadapan. "Aku menyayangimu." Alva tersenyum. Sedangkan Lona masih berusaha mencerna maksud dari perkataan Alva.

SEVERANDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang