Untukmu, yang berani singgah tapi tak pernah sungguh
Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi
Dariku, yang masih menyayangimu
oOo
Kata orang, jodoh itu cerminan diri. Seseorang akan mendapat pasangan sesuai dengan kualitas yang dia punya. Kalau orangnya cantik, kemungkinan besar akan berjodoh dengan orang yang tampan. Kalau orangnya pintar, kemungkinan besar akan berakhir dengan orang yang juga pintar. Awalnya, aku setuju dengan pepatah itu. Tapi setelah lebih besar dan berkenalan lebih jauh dengan dunia beserta segala kekejaman maha tak mengenal belas kasihannya, aku justru berpikir pepatah itu tidak adil—sekaligus sudah tidak cocok lagi diterapkan di jaman sekarang.
Maksudku begini, manusia itu punya kelebihan dan kekurangan. Ada yang terlahir dengan seabrek kelebihan sampai-sampai terlihat sangat sempurna hingga nyaris tanpa cela, sementara ada juga yang malang karena satu-satunya kelebihan yang dia punya adalah memiliki terlalu banyak kekurangan. Mungkin dulu, waktu Tuhan membagi-bagikan keberuntungan, dia datangnya belakangan. Coba bayangkan, akan seberapa berantakannya dunia ini jika yang sempurna berjodoh dengan yang sempurna dan yang tidak sempurna berjodoh dengan yang tidak sempurna pula.
Pasangan sempurna dan tidak sempurna itu kelak akan beranak-pinak. Jumlah mereka berlipat ganda. Akan ada semakin banyak orang yang tidak sempurna dan sempurna, terpisah dalam kesenjangan asmara yang batasnya bahkan tak lagi bisa dikira. Terlalu dramatis dan menyedihkan. Perlu diketahui, kesenjangan asmara itu daya rusaknya lebih besar dari kesenjangan sosial apalagi kesenjangan ekonomi. Kenapa? Karena ini masalah iri dan dengki yang bisa menjalari hati.
Jadilah, sejak aku SMA, aku tidak lagi percaya pada pepatah seperti itu.
Jodoh bukan cerminan diri. Malah, tidak ada yang namanya konsep jodoh dalam kamusku. Pasanganmu adalah siapa yang kamu tentukan, siapa yang kamu pilih untuk mendampingimu hingga akhir hayat. Sosok yang kamu inginkan jadi temanmu untuk menua bersama, lalu menghabiskan hari di sepanjang senja sambil menunjuk uban di kepala satu sama lain.
"Kenapa belum tidur?"
Aku berhenti menulis lembar-lembar buku harianku ketika suara seorang pria terdengar. Spontan, aku mengangkat wajah, menatap padanya. Wajahnya terlihat lelah hasil dari rutinitas harian yang dia jalani. Dia tampak khawatir, namun senyumnya yang menjadi favoritku bahkan sejak kami masih kuliah tetap tertarik dengan manis.
"Karena belum kepingin merem."
Dia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang. "Kenapa nggak mau merem?"
"Karena belum mau tidur."
Dia menghela napas, lantas tangannya terulur menyentuh puncak kepalaku. "Tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Teen Fiction[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...