25 - Tentang Rasa

52.8K 6.7K 2.4K
                                    

H A N A

Jika gue menghitung sudah berapa hari yang gue lewatin bersama Edgar sejak pertama kali gue ketemu dia yang lagi sebat-sebat asik di belakang sekolah dulu, totalnya mungkin lebih dari dua ribu hari. Diantara dua ribu hari itu, ada banyak tingkah-lakunya yang membuat gue kesal, tertawa, menangis dan diam-diam khawatir. Diantara dua ribu hari itu, ada banyak tingkah-laku gue yang membuatnya kesal, tertawa, menangis dan diam-diam khawatir. Tapi diantara dua ribu hari itu, baru hari ini dia membuat gue terdiam dan nggak bisa mengatakan apa-apa.

"Gue memilih lo." Katanya mengulang. "Kok lo nggak merespon, sih?"

"Emangnya... gue harus respon apa?"

"Apa, kek!" Edgar mendengus. "Minimalnya lo merasa tersanjung, karena gue lebih memilih lo daripada Rinjani Mehrunnisa yang cantik, tinggi semampai kayak model, baik hati, bertatakrama, pintar, punya segudang prestasi dan fanboy yang tersebar di berbagai fakultas, lembut dan kalau gue harus tambahkan lagi, punya masa depan yang cerah."

"Lho, memangnya gue nggak kayak dia?"

"Lo ngerasa lo cantik, tinggi semampai kayak model, baik hati, bertatakrama, pintar, punya segudang prestasi dan fanboy, lembut dan bermasa depan cerah?"

"Jelas."

"Lo cantik?"

"Banget. Gue tanya, emang ada yang pernah bilang Kiko Mizuhara jelek?"

"Setahu gue sih nggak ada."

"Muka gue kan beda tipis sama Kiko Mizuhara." Gue berujar pongah sambil mengibaskan rambut walaupun efeknya nggak dramatis karena rambut gue nggak segondrong Jang Moon Bok yang kebadaiannya ngalahin Badai Kerispatih sekali pun itu.

"Tinggi semampai kayak model?"

"Gue cukup semampai."

"Semeter tak sampai kali baru bener." Edgar mencibir. "Baik hati dan bertatakrama?"

"Sangat."

"Apaan, yang ada Eyang Puteri Rama bisa langsung jantungan kalau ketemu lo."

"Tapi Omanya Dio sama Mama-Papanya senang-senang aja tuh sama gue."

Gue nggak menyadari bagaimana ekspresi wajah Edgar berubah sedikit karena jawaban gue barusan. "Pintar dan punya segudang prestasi?"

"Emangnya ada mahasiswa di kampus yang berhasil mencatatkan prestasi mengulang kelas kalkulus tiga tahun berturut-turut dengan gemilang kayak gue?"

Edgar melengos. "Punya fanboy?"

"Nggak sebanyak Rinjani, memang. Tapi jelas lebih berkualitas and you know quality is over quantity, beibeh."

"Oh ya? Siapa aja?"

"Adrian. Faris. Je. Lo. Edgar. Dio."

"Gue bukan fanboy lo."

"Suka malu-malu gitu, kan."

"Dio emang fanboy lo?"

Gue tersenyum lebar sambil memegang kedua pipi gue yang tiba-tiba terasa panas. "Lo nggak akan pernah tau, Tak. Lo nggak akan pernah tau."

Edgar terdiam sejenak, nggak bicara apa-apa lagi.

"Kok lo malah diam?"

"Na." Dia memanggil.

"Apa?"

"Apa pun yang terjadi, selamanya kita akan tetap kita, kan?"

"Idih, lo ngomong apa, sih? Kok tiba-tiba banget begini?"

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang