14 - Pak Comblang

51.3K 6.5K 1.4K
                                    

Sudah nyaris seminggu berlalu sejak perayaan hari ulang tahun nenek Dio. Sejak hari itu, Dio belum pernah bertemu dengan Hana lagi, meski mereka sempat berbalas pesan singkat—dimulai dari Dio yang berterimakasih karena Hana sudah mau datang ke acara ulang tahun neneknya dan tentu saja dibalas oleh Hana dengan serentetan stiker dan emoji yang sukses membuat Dio tertawa geli. Sepanjang minggu ini, Dio disibukkan oleh uji blok dan serangkaian rapat organisasi. Jangankan untuk mengontak orang lain, Dio bahkan beberapa kali lupa makan siang—dan tidak biasanya, Hana juga tidak terlihat di mana-mana. Dio sempat heran hingga dia mendengar dari Je jika Hana juga sedang disibukkan oleh setumpuk laporan dan tugas kuliah yang harus dia selesaikan. Enam hari lewat begitu saja tanpa komunikasi.

Yah, bukan berarti Dio berharap ada komunikasi semacam itu diantara mereka.

Hari ini hari Sabtu. Kuliah libur. Setelah kurang tidur sepanjang minggu, Dio sengaja tidak menyalakan alarm karena ingin menikmati kasurnya sedikit lebih lama lagi. Sayangnya, sepertinya itu hanya sebatas angan-angan semu tatkala ponselnya berdering keras saat jarum pendek jam dinding di kamarnya masih merambat perlahan menuju angka tujuh.

Mendengus, Dio meraba-raba kasurnya. Tangannya berhenti saat menemukan ponsel. Dengan asal, cowok itu men-swipe layar sebelum menempelkannya ke telinga.

"Halo?"

"Selamat pagi dunia! Morning, be ready then rise and shine!"

Dio menggeram pelan. "Pi, tolong ya. Ini masih pagi."

"Emang masih pagi. Tadi kan Papi bilangnya 'morning'. Haduh, makanya itu stetoskop punya kamu sekali-sekali dibersihkan. Biar daki kuping kamu nggak numpuk disana dan malah menyumbat pendengaran kamu. Nggak lucu kalau ada dokter budek. Kasian pasiennya bisa darah tinggi ngomong sama kamu nggak konek-konek."

"Lama-lama aku yang darah tinggi ngomong sama Papi."

"Dih, diabetes kali kalau ngomong sama Papi. Secara, Mami kamu aja suka bilang kalau Papi itu laki-laki bermulut semanis madu."

"Dangdut banget sih, Pi."

"Dangdut is the music of my country yo."

"Stop. Aku lagi nggak minat dengerin rapping Papi yang nggak berkualitas."

"Hadeh, rap bagus gini dikata nggak berkualitas. Ini ya kalau Papi audisi ke Korea sana, G-Dragon bisa langsung keok pas adu rap sama Papi."

"Terserah." Dio berusaha keras untuk tidak bicara dengan nada tinggi, mengingat betapapun geser otak Papi, laki-laki itu tetap salah satu penyebab utama mengapa dia terlahir ke dunia. "Ini hari Sabtu, Pi. Hari Sabtu."

"Iya, memang. Kalau hari Senin, Papi udah update status 'damn Monday' di Snapgram."

"Kenapa Papi telepon aku?"

"Emang nggak boleh telepon anak sendiri?"

"Nggak di jam segini juga." Dio langsung sewot. "Aku capek. Aku baru balik jam dua pagi setelah rapat. Masih harus dilanjut review materi baru buat persiapan small group discussion hari Senin nanti. Itu artinya aku tidur kurang dari empat jam."

"Makanya jangan masuk kedokteran. Sudah Papi bilang, mending kamu dagang rendang aja di Pasar Baru."

"Papi!"

Papi tertawa renyah di seberang sana. "Papi cuma bercanda."

"Aku matiin ya."

"Jangan, dong." Papi buru-buru menyela sebelum Dio benar-benar memutus obrolan telepon mereka. "Papi butuh bantuan kamu."

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang