H A N A
Dulu, waktu masih SD gue pernah di-bully.
Iya, soalnya katanya gue jelek. Padahal sih menurut gue, gue bukannya jelek. Gue cuma dekil aja, kan masih hobi-hobinya berpanas-panasan di bawah sinar matahari buat ngejar layangan. Awalnya, gue pede-pede aja. Bodo amat gitu mau dibilang jelek kek dekil kek, yang penting gue minta uang jajan dari bokap-nyokap gue kan bukan dari anak-anak yang nge-bully. Lagipula, setiap kali gue mau berangkat sekolah, Nyokap nggak pernah absen ngebedakin gue sampai muka gue mirip kue mochi lagi diadonin terus bilang, "Yohana anak Ibu cantik banget, sih."
Kata-kata itu Nyokap ucapkan setiap pagi, dan dampaknya sangat luar biasa. Bahkan hingga sekarang, gue punya kepercayaan diri yang sangat besar bahwa gue adalah versi buluk dari Kiko Mizuhara. Wajar kan, doi artis. Bisa perawatan ini-itu segala macam, terus kosmetik dan skincarenya juga yang kelas mahalan. Lah gue? Boro-boro skincare, lipstik patah aja gue sambung lagi berbekal dengan panas dari api.
Coba nih yah kalau gue punya Enyak-Babe setajir orang tuanya Kiko Mizuhara, beuh bertekuk lutut dah itu semua cowok di kantin. Dari mulai Sapta Buldog, Je, Dio bahkan sampai Nana Supena. Untung aja Tuhan itu Maha Adil. Jadi gue nggak dibikin terlahir dari keluarga tajir melintir. Kalau nggak kan kasian ntar masa cewek di kampus jomblo semua. Nggak. Gue nggak sanggup menanggung dosa itu. Belum lagi kalau nanti ada sayembara berdarah diantara para anak cowok yang semata mereka lakukan hanya untuk mendapatkan hati gue.
Dio Alvaro aja udah cukup buat gue.
Tapi, walaupun begitu, dulu waktu di-bully, tingkat kepercayaan diri gue sempat jatuh sejatuh-jatuhnya. Soalnya waktu itu yang bully gue cowok. Sebut saja namanya Anto—akronim dari Anak Tolol. Dia bilang gue hitam, jelek dan kurus. Nggak beda jauh sama tiang panjat pinang abis dilumurin oli. Harusnya gue nggak peduli, tapi diam-diam gue ngerasa sakit dalam hati.
Soalnya, Anto itu anak paling ganteng di kelas. Dan seperti hukum alam, gue naksir Anto. Gimana sih perasaan lo ketika orang yang lo taksir justru bilang kalau lo jelek dan blablabla segala macam? Meski pun cinta jaman itu adalah cinta monyet dan waktu itu suara Anto masih cempreng karena belom puber, gue tetap merasakan sakit layaknya wanita dewasa yang batal dilamar.
Jadi Raya sih enak. Dia punya Jeviar Mahardika. Ada yang nemenin dia dari jaman masih gigit karet dot sampai dia jadi mahasiswi sok perfeksionis yang kerjaannya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Gue? Nnggak. Gue baru ketemu Batak pas SMA, itu juga si Batak resenya minta ampun. Beda sama Je yang bakal bawain Raya jamu Ki**ranti setiap kali dia datang bulan, Batak sih bakal sibuk mengendap-endap di belakang gue, terus teriak kenceng gitu sampai satu kelurahan bisa dengar suaranya.
"Aih, ada bendera jepang!"
Rasanya pengen gue sepak selangkangannya.
Iya, gue harus belajar segalanya seorang diri. Kalau gue dipermalukan, nggak pernah ada yang belain gue. Karena itu, gue berpikir kalau gue harus bisa membela diri gue sendiri. Salah satunya adalah dengan punya tingkat kepercayaan diri tinggi. Lagian, gue masih percaya apa yang Ibu gue bilang tiap pagi.
Percaya kalau gue cantik.
Namun, sekarang kepercayaan diri gue yang biasanya memuncak sampai mengalahkan tingginya Gunung Everest langsung runtuh begitu saja ketika gue pertemu dengan cewek itu. Benar-benar enggak terduga. Jadi, kita masih jalan melintasi mall menuju Konter Wardah ketika seseorang tiba-tiba menyapa Dio. Suaranya alamak, bikin gue ngerasa cara ngomong gue nggak jauh beda sama preman Lebak Bulus. Tingginya sepantaran dengan gue, tapi bodynya berlekuk banget kaya ukulele Aloha. Dia pakai dress gitu, kayak sengaja mau mempertontonkan sepasang kakinya yang mirip lidi-lidian. Rambutnya dicat kayak Cleo, terus mukanya full makeup dengan contouring super badai. Gue melihatnya sejenak, kemudian mengelus dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Fiksi Remaja[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...