38 - Determinatio

49.7K 6.3K 1.4K
                                    

🌸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌸

H a n a

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

H a n a

Rasanya campur-aduk duduk di belakangnya setelah beberapa minggu nggak berdekatan dan ngobrol alakadarnya. Kalau dipaksa nginget gimana kita dulu sebelum semua keribetan ini dimulai, gue jadi ngerasa sedih. Gue sayang dia, semua orang jelas tahu itu. Gue pun tahu. Tapi... sebagai teman. Gue nggak mau kehilangan dia, tapi sekarang, situasinya membuat berada di dekatnya pun jadi terasa terlalu egois buat gue.

Dari dulu, gue adalah orang yang sangat terlatih bersikap bodo amat. Emang kenapa gitu? Nggak ada ketentuan pasti kalau gue harus disukai semua orang atau diterima di setiap tempat yang gue datangi. I do myself in my own way. Bodo amat orang mau bilang apa, selama gue nggak merugikan kehidupan mereka. Tapi semakin gue dewasa, gue sadar bahwa pada saat-saat tertentu, society approval itu penting. Ada batas buat semua keanehan dan sikap semaunya yang mungkin dipunya setiap orang. Jika seseorang melewati batas keanehan atau sikap semaunya itu, mereka bakal jadi mangsa massa.

Entah untuk dihujat, atau dibully.

Lamunan gue terhenti tiba-tiba waktu Edgar tiba-tiba membelokkan motornya—yang jelas bukan motor dia karena membayangkan Edgar berasosiasi dengan motor itu sama mustahilnya dengan membayangkan Faris datang ke kampus pake becak—ke sebuah tempat makan. Gue bisa membaca niatnya, langsung menolak turun begitu dia menghentikkan motor dan mematikan mesinnya.

"Turun, Na."

"Nggak mau."

"Kenapa?"

"Gue udah kenyang. Gue nggak kepingin makan. Udah makan tadi bareng Je. Sekarang maunya pulang."

"Emang siapa yang mau nawarin lo makan? Yang mau makan tuh gue!"

"Dih, kalau gitu ngapain mampir-mampir segala? Bagusnya lo anter gue ke kos gue dulu, nah abis itu terserah deh lo mau makan di Dubai kek, di Jonggol kek atau sampai ke Harapan Indah juga terserah lo!"

"Gue bosan makan sendirian." Dia bilang begitu sambil melepas helmnya, terus langsung jalan melewati gue menuju pintu depan rumah makan. Gue terdiam, berdiri kaku dengan kepala yang masih ditongkrongin helm. Sempat bingung sejenak, pada akhirnya gue memilih melepas helm, menyangkutkannya di kaca spion yang lain dan menyusul Edgar yang udah lenyap lebih dulu di balik pintu.

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang