24 - Ephemeral

50.8K 6.5K 1.6K
                                    

E D G A R

Setelah menyihir seluruh dunia jadi lebih muram selama lebih dari setengah hari, hujan akhirnya berhenti sejenak sebelum siang melompat menuju sore. Langit masih mendung saat gue melangkah keluar dari kelas. Gue memang menentukan sendiri jurusan kuliah yang gue mau—karena dari dulu gue memang hobi menggambar dan meski gue terdaftar sebagai anak IPA waktu SMA, rumus-rumus maupun hitung-menghitung bukan sesuatu yang menarik minat gue—tapi ada kalanya gue diam-diam menyesali keputusan gue sudah memilih jurusan ini waktu berada dalam kelas. Nggak seterusnya, hanya pikiran yang mampir sebentar, tapi mau nggak mau itu membuat gue menyadari jika menjalani kehidupan perkuliahan yang gue pilih sendiri aja bisa terasa sangat sulit sewaktu-waktu, gimana dengan mereka yang memilih apa yang mereka pelajari di bangku universitas bukan karena keinginan sendiri.

Lebih-lebih dari penyiksaan jaman Jepang kali ya rasanya.

Gue nggak tau kenapa tapi satu-satunya yang terlintas dalam otak gue begitu gue melangkahkan kaki melewati pintu kelas (padahal dosennya sendiri belum keluar tapi yaudalahya bodo amat silakan gelari saja gue dengan sebutan mahasiswa fakir tatakrama) adalah pergi ke kantin teknik. Bukan, bukan untuk ketemu Je dan yang lainnya. Je lagi ribet dengan urusannya sendiri, begitu pun dengan Faris yang makin menikmati masa-masa tersuram hidupnya jadi bencong galau melankolis gara-gara cinta bertepuk sebelah tangannya sama Cleo atau Rama yang direpotkan oleh cewek aneh dari Jogja itu (entah direpotkan atau justru senang karena konon katanya, Rama pernah suka banget sama itu cewek). Bukan juga Adrian. Apalagi Dio.

Bocah itu sih ke laut aja nggak apa-apa. Untuk nyemplung maksudnya, bukan buat cari ikan apalagi nyantai di pulau. Karena dia bukan nelayan dan bukan orang yang lagi punya kapasitas buat liburan.

Apa sih garing banget gue.

Tapi masih mau dengar jawaban jujur gue nggak?

Gue mau ke kantin teknik karena siapa tau aja, Hana ada disini.

Oke, jangan ledek gue karena sekarang gue mulai memanggilnya seolah dia adalah manusia. Emang selama ini dia bukan manusia? Hm, jangan salah. Wujudnya bisa aja manusia, tapi onderdil dalamnya belum tentu. Emangnya lo pernah gitu ketemu manusia tanpa urat malu kayak dia?

Dia nginap di tempat gue semalam. Kita nggak ngapa-ngapain, walau gue sempat berpikir kalau dia terlihat cute banget waktu lagi tidur. Kayak anjing kecil yang minta dipeluk, disayang, didandanin dan diajak jalan-jalan. Namun tentu saja, gue nggak akan melakukan itu. Mendingan gue meluk singa betina yang lagi lapar daripada meluk Yohana yang lagi tidur. Resiko cedera gue lebih ringan. Disayang?

Tanpa Yohana harus jadi anjing kecil juga gue udah sayang sama dia.

Sebagai teman.

Atau nggak?

Nggak tau, deh. Intinya, gue kurang tidur aja semalam. Bukan karena Yohana memonopoli kasur gue (karena anak itu cukup tau diri dan memilih tidur di atas sofa panjang sambil memeluk salah satu bantal gue) tapi karena ada konser yang kepalang ribut dalam dada gue sampai gue nggak bisa tidur.

Mungkin itu karena untuk pertama kalinya gue hanya berdua saja dengan Hana dalam suasana sepi. Hana pernah menginap di tempat gue, tapi waktu itu kita nggak cuma berdua. Selalu ada Je atau Faris. Karenanya, bukan salah gue dong kalau gue deg-degan semalaman.

Koridor sepi dan kotor karena jejak-jejak sepatu milik mahasiswa yang habis menginjak tanah basah atau genangan di cekungan paving block halaman gedung yang tidak rata. Sebentar lagi jam tiga sore. Sebagian mahasiswa mungkin lebih memilih langsung pulang usai kelas mereka selesai atau sejenak setelah hujan berhenti. Entah untuk langsung kembali ke rumah atau melanjutkan aktivitas hari ini di tempat lain, mulai dari rapat organisasi sampai kerja paruh waktu. Apa pun itu, yang jelas-jelas lebih berguna daripada sekedar leyeh-leyeh gabut di koridor yang becek dan lembab.

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang