16 - Memori Daun Pisang

51.8K 6.5K 2.1K
                                    

"Jujur sama gue, apa sebenarnya yang lo mau?"

Hana mengangkat salah satu alis saat mendengar Edgar tiba-tiba bicara begitu setelah bermenit-menit mereka habiskan dalam keheningan sejak awal mereka tiba di Kebab King. Tempat itu serupa dengan restoran cepat saji, sebuah jaringan franchise lokal yang menjual aneka makanan khas Turki seperti kebab, hummus hingga manisan Turkish delight. Ukuran bangunannya tidak terlalu besar, namun desain interiornya modern dan sesuai dengan kriteria yang akan disebut anak-anak jaman sekarang sebagai tempat yang instagramable. Buat Edgar, tingkah Hana yang seperti ini sangat tidak biasa. Terutama ketika gadis itu turut merelakan tiga kupon makan gratis—yang bisa dibilang merupakan harta berharganya—untuk dirinya dan Rinjani.

Yah, by the way, awalnya mereka memang berniat menjemput Rinjani, tapi entah bagaimana cewek itu punya urusan mendadak yang membuatnya berkata bakal terlambat maksimal setengah jam ke tempat mereka janjian. Merasa tidak enak, Rinjani menyuruh Edgar dan Hana meluncur ke TKP lebih dulu. Dan disinilah mereka sekarang.

"Apanya?"

"Lo pasti punya maksud tertentu di balik semua tindakan lo ini."

Hana mengerjapkan mata, meletakkan ponselnya ke atas meja dan menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah memendam duka serta simpati yang amat mendalam. "Astaga, Batak. Lo tau nggak sih, berburuk sangka sama orang lain terutama teman lo yang berhati seperti malaikat ini akan diganjar oleh neraka nantinya?"

Edgar mencibir. "Tumben banget lo mau merelakan harta karun lo itu buat gue dan Rinjani. Tanpa timbal-balik."

"Sebenarnya gue sempat berharap lo bakal bertindak seperti gentleman dan mengganti kupon gue sesuai dengan harga makanan yang lo dan Rinjani pesan." Hana mengakui tanpa malu-malu. "Tapi kalau dipikir lagi, sekali-kali nggak apa-apalah gue beramal. Lagipula bersedekah pada kaum dhuafa itu konon bisa membuat gue punya rumah bagus di surga kelak."

"Siapa yang lo sebut kaum dhuafa?!"

"Lah, emang lo merasa termasuk kaum elit?" Hana berdecak seolah tidak habis pikir. "Aduh, mimpimu itu tinggi sekali, Nak Edgar Simanjuntak. Mana ada masyarakat keelitan dengan muka kerakyatan kayak lo."

"Para penggemar gue bilang gue ganteng."

"Penggemar yang mana? Penggemar dari Mogadishu?"

"Penggemar di kampus."

"Halah, jumlahnya kedikitan untuk bisa disebut penggemar. Daripada disebut penggemar, lebih pantes disebut sekte pemujaan. Kasian juga mereka. Udah tergolong sekte sesat, buta mata dan buta hati pula." Hana memutar bola matanya. "Intinya gitu. Gue merasa perlu menjadi Mak Comblang yang baik buat lo. Itu aja. Dan terimakasih juga untuk semua usaha lo membantu gue dekat dengan Dio. Bau-baunya lo harus siapin mental buat lari keliling Bundaran HI nggak pake baju."

"Oh, sampai kapan pun itu nggak akan terjadi. Gue berani jamin. Pacaran sih masih mungkin. Tapi buat nikah? Selera Dio tuh yang kayak kontestan Putri Indonesia. Lo sih boro-boro, ngelamar jadi tukang pegang ekor gaunnya Putri Indonesia aja nggak bakal diterima."

Obrolan mereka terhenti ketika pintu depan resto didorong terbuka, menampilkan sosok Rinjani yang tampak cantik dengan rambut dikuncir kuda. Gadis itu mengenakan blus warna ungu pastel hari ini, lengkap dengan rok berwarna hitam yang menampilkan betis langsingnya. Matanya menyapu seisi ruangan, berhenti saat dia menemukan Edgar dan senyumnya langsung terkembang.

"Jani cantik juga ya."

"Cantik banget kali. Bukan cantik juga." Edgar mengoreksi sewot, lalu menatap penampilan Hana dengan sebelah mata. "Nggak kayak lo. Berani taruhan, rambut lo pasti belum kena sisir hari ini."

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang