Bulan berganti dan seperti biasa, para anak-anak cowok dalam geng yang Hana juluki sebagai Geng Kambing Gunung mengadakan pertemuan rutin khusus cowok mereka. Sayangnya, untuk pertemuan kali ini, Je absen untuk pertama kalinya. Dio sempat mempertanyakan, namun dengan entengnya Faris hanya berkelakar, mengatakan kalau Je pasti sedang sibuk dengan pacar tercintanya.
"Sibuk sih sibuk," Adrian berkomentar. "Tapi bukannya dari awal kita bikin agenda ini, semuanya udah sepakat nggak boleh ada satupun yang absen kecuali kita semua lagi hectic karena deadline pengumpulan tugas?"
Faris mengernyit, meraih mojito yang dia pesan dan menyesapnya sebelum bicara. "Wait. Lo ngambek karena Je nggak datang? Wow, it's so not like you. Kenapa? Kangen sama bau keteknya Je? Atau udah nggak tahan pengen megang vans buluknya yang baunya kayak bau jamban setan itu?"
"Atau lo kangen sama Raya?" Rama nyeletuk, membuat Adrian mendengus sambil menusuk potongan sosis bakar di atas piringnya dengan setengah hati. Tindakannya membuat Rama dan Faris saling berpandangan sebelum mereka kompak meringis. Edgar serta Dio yang memahami arti di balik ekspresi Rama dan Faris hanya berdecak jengah.
"Lo kenapa?" Adrian bertanya dingin.
"Jangan tusuk-tusuk sosis kayak gitu. Perih otong gue ngeliatnya."
Adrian melotot pada Faris. "Mulut lo itu emang benar-benar harus dicuci pake air merkuri."
"By the way, daripada ngomongin Je, gue punya topik yang lebih penting dan berfaedah." Edgar mendadak berdeham sembari memandang pada Dio yang langsung mengerutkan dahi. "Ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan harkat serta martabat masa depan gue bersama cewek yang gue niatkan bakal jadi ibu bagi anak-anak gue nantinya."
"Alah, tai kucing. Bilang aja kalau lo mau ngomongin Hana dan obsesi setengah mampusnya sama calon dokter mesum di depan kita ini."
"Faris."
"Iya, Yo?"
Dio sengaja memasang ekspresi wajah datar dengan sentuhan professionalitas tingkat tinggi sebelum bicara. Edgar berani sumpah, dia hanya pernah melihat Dio menunjukkan wajah semacam itu ketika Dio tengah naik ke podium untuk berpidato atau berbicara di depan junior-junior departemennya. "Pertama, lo harus tau bahwa Hana nggak punya obsesi apa-apa sama gue. Kedua, gue bukan calon dokter mesum karena otak gue nggak sehitam otak lo yang udah berkarat ditutupi partikel-partikel dosa. Ketiga, gue memesan cokelat panas bukan tanpa alasan. Berdasarkan perhitungan matematis yang gue lakukan, hanya butuh waktu paling lama tiga detik buat gue bikin muka sama leher lo mengalami luka bakar dengan tingkat keparahan derajat satu. Jadi kesimpulannya? Mending lo nggak usah banyak b-a-c-o-t."
"Lo lebih mirip psikopat daripada calon dokter, Yo." Rama berkomentar.
"Sori, lupa nambahin, tapi peringatan itu berlaku juga buat lo, Parama."
Rama langsung bungkam dibuatnya, sementara Dio berpaling pada Edgar. "Lo mau ngomong apa tadi?"
"Soal Hana."
"I heard it well."
"Tunggu, kenapa gue merasa akan ada konflik ala Jalur Gaza disini sebentar lagi?"
"Yo, kenapa cara ngomong lo mengesankan kalau kita lagi rebutin itu bocah, sih?" Edgar bertanya, merasa konyol. "Tapi yah, bagus kalau lo udah ngerti. Lo pasti paham apa maksud gue."
"Ngomong yang jelas, Edgar. Gue bukan anak pramuka yang paham sandi-sandian dan gue juga nggak pernah mengidolakan Samuel F. B Morse."
"Morse--what the--ah, yaudah. Nevermind. Soal Hana, lo udah tau jelas gimana perasaan dia buat lo. Dia naksir lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Teen Fiction[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...