28 - Kosong

44.9K 6.4K 1.8K
                                    

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

D i o

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

D i o

Lima menit duduk berhadapan dengannya tanpa sepatah kata apa pun membuat gue merasa terjebak dalam situasi yang luar biasa awkward. Starbucks ramai, kayak biasanya. Sejak gue datang, gue sudah disambut oleh suara obrolan riuh-rendah sepasang gadis muda yang duduk di pojok, atautawa cekikikan segerombolan anak-anak SMA yang dari tadi nggak bisa berhenti berseru dengan nada tinggi seraya saling menunjukkan entah apa yang ada dalam layar ponsel mereka masing-masing. Namun di depannya, gue terantai dalam sunyi tanpa akhir.

Anjir, canggung banget, cuk.

Diam-diam gue berharap, entah bagaimana, suara barista terdengar menyebut nama gue ataupun namanya, sekadar memecahkan kesenyapan ini walau cuma sebentar.

Tapi mana mungkin lah, gue baru masukkin pesanan gue lima menit yang lalu, begitupun dengannya.

"Gue..."

"Gue bukan jenis cewek yang tumbuh-besar dengan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang dianggap sakral oleh keluarga gue, tapi gue jelas nggak sebar-bar itu sampai-sampai lo merasa nggak harus menatap mata gue saat kita bicara."

Buset, sadis banget. Omongannya dingin, nggak jauh beda dengan wajahnya. Gue menghela napas, lalu menatapnya.

Setelah sekian tahun berlalu, nggak banyak yang berubah darinya. Rambutnya memang nggak lagi dipotong layer berantakan macam vokalis band emo Japanese Pop, namun wajah itu masih sama. Hanya saja, dia jadi lebih manis. Kesan boyish yang melekat padanya bertahun-tahun silam sudah lenyap. Rambutnya dibiarkan tumbuh lebih panjang sampai melewati bahu, dengan potongan lebih pendek di tepi yang membingkai apik wajahnya. Berbeda dengan malam itu, dia memandang gue dengan dingin. Tanpa air mata. Tanpa suara.

Matanya... adalah apa yang membuat rasa bersalah gue makin menumpuk.

Mata itu punya kemampuan magisnya sendiri yang membuat gue merasa ditarik ke masa lalu, pada peristiwa yang terjadi malam itu.


Semuanya berawal beberapa tahun lalu, hanya sebulan setelah gue lulus SMP. Gue hanya bocah lima belas tahun yang masih clueless tentang dunia, masih begitu polos hingga saat guru-guru gue berinisiatif mengadakan darmawisata menjelang momen perpisahan, satu-satunya respon gue adalah excited luar biasa. Teman-teman gue sama senangnya, karena buat anak cowok yang masih remaja seperti kita, pergi ke luar kota bersama kawan-kawan sebaya adalah masa-masa yang nggak seharusnya dibiarkan terbuang percuma.

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang