H A N A
"Tumben lo nyempetin diri datang kesini? Bulan kemarin waktu café gue soft opening, lo nggak datang dengan alasan inilah-itulah yang kalau boleh gue bilang, cuma bullshit belaka."
Gue mengabaikan omelan dari cowok tinggi berambut ala idol Korea yang kini sedang menghidangkan segelas iced Americano tepat di depan tangan gue yang dilipat. Sebenarnya gue bukan tipe orang yang suka minum kopi, sih. Pertama, kopi itu bikin jantung deg-degan—jangan balas pake omongan "ya iyalah deg-degan, kalau nggak deg-degan ya berarti mati" oke? Karena itu bakal membuat gue terpicu untuk menonjok lo tepat di hidung. Maksud gue disini adalah deg-degan berlebihan macam lo dikejar anjing herder tetangga sebelah yang kebetulan lehernya lupa ditaliin. Kedua, kopi itu bikin gigi kuning. Gue udah punya cukup banyak stok jigong yang menumpuk jadi nggak perlu tambahan warna ngejreng dari asupan kafein berlebihan.
Tapi apa daya, setelah semalaman begadang ngerjain tugas—yang kemudian ditolak habis-habisan sama asisten lab, dimana berarti gue harus mengulangi segalanya kembali dari awal (fuck you pisan lah asisten lab, untung aja situ ganteng jadi gue nggak kalap-kalap amat)—gue butuh suntikan kafein kalau gue nggak mau tewas setewas-tewasnya sebelum jam delapan malam nanti. Tidur itu penting, tapi kayaknya nyokap gue lebih memilih muka gue jadi kayak zombie gara-gara kurang tidur daripada melihat kartu hasil studi gue panen nilai D di akhir semester nanti. Kalau gue sakit paling disuruh berobat. Kalau nilai gue jelek kebangetan bisa-bisa nama gue di tip-x dari kartu keluarga.
Sekalian gue mau curhat soal pangeran sembilan ratus rupiah yang baru gue kenal kemarin. Dio Alvaro, cinta gue itu. Oh my God, dunia emang super sempit ya. Atau mungkin takdir juga, sih. Tuhan memang maha baik lah, meski pun gue nggak alim-alim amat. Cuma, bingung juga siapa yang mau dicurhatin. Edgar lagi sibuk ngejar deadline pengumpulan tugasnya. Maklum bentar lagi kan midtest. Raya juga. Apalagi Jeviar. Doi kayaknya tambah gosong aja soalnya ngukur-ngukur selokan sama jalan tiap hari, sama berdiri di pinggir jalan ngitungin jumlah kendaraan yang lewat menurut periode waktu tertentu. Bahasa kerennya traffic counting. Tapi kenyataannya dia lebih mirip joki three in one yang lagi megang timer. Jalan sama Adrian adalah tindakan bunuh diri, bisa-bisa gue dicakar sama penggemarnya yang ngelebihin jumlah bintang di semesta. Hangout sama Rama atau Faris bisa aja sih dipertimbangkan, tapi nggak deh, makasih. Mulut mereka tuh serupa ember bocor. Kalau gue cerita tentang Dio, besok-besok Dio pasti bakal langsung tahu gimana kagumnya gue ke dia bahkan sampai gue merhatiin warna kaus kakinya waktu ketemuan di bar kemarin.
Gue emang gila, tapi belum segila itu untuk benar-benar mempertontonkan kegilaan gue di depan cowok calon masa depan gue.
Jadi akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke café punya salah satu teman gue. Mungkin lo pada belum pernah benar-benar kenal dia. Well, dia nggak terlalu dekat dengan Raya atau teman-teman gue yang lain. Dia teman gue dari SMP. Namanya Rainer, lengkapnya Rainer Liem. Dia masih kuliah tapi mulai bulan lalu, dia berhasil mewujudkan salah satu mimpi kecilnya buat punya café sendiri. Oke, cukup sekian soal Rainer dan mimpinya sebelum gue kedengaran kayak penulis kisah inspiratif gadungan. Gue bukan Andrea Hirata dan Rainer bukan Lintang yang harus putus sekolah setelah bapaknya yang nelayan tewas di laut. Lagian mana ada anak nelayan albino macam kecoak lama disekap di kolong ranjang dan nggak pernah ketemu matahari kayak Rainer?
"Gue sibuk, oke? Si-buk."
"Sibuk menangisi nilai yang lagi-lagi jelek?"
"Sialan lo ya!" Gue berseru sambil melempar buntalan tissue yang baru gue remas-remas ke muka mahasiswa arsitektur di depan gue ini. Dia kontan tertawa lebar, meski pun hampir tanpa suara.
"Ray, gue kemarin ketemu cowok."
"Dan cowoknya pasti nggak naksir sama lo."
"Lo tuh bisa dengerin gue dulu nggak, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Novela Juvenil[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...