Dio baru saja melangkah meninggalkan koridor fakultas kampusnya sembari memasang earphone ke kedua telinga saat ponselnya tiba-tiba berdering. Cowok itu melirik pada nama yang tertampil di layar, dan sadar jika telepon yang masuk datang dari Mami. Ini hampir jam lima sore. Dio bisa menebak, pada jam-jam segini Mami pasti sedang bersantai sejenak dari aktivitasnya sebagai pemilik sebuah butik terkenal ditemani oleh secangkir teh.
"Halo, Mi." Dio menyapa seraya merogoh saku, mengeluarkan kunci mobilnya. Di seberang sana, lagu Tangiang Ni Dainang yang didendangkan oleh Tety Rosalin Hutapea terdengar. Sangat khas Mami. Meski sudah tinggal di Jakarta sejak masih gadis, Mami tidak pernah sekalipun lupa pada tanah kelahirannya. Sejak Dio kecil, wanita itu bahkan sudah setia berdebat dengan Papi. Menurut Mami, Dio adalah anak Batak asli—yang biasanya akan Papi balas dengan sanggahan dalam bahasa Minangkabau.
"Halo, sayang. Sudah pulangkah?"
"Mau pulang."
"Sore banget."
"Ada praktikum hari ini, Mi."
"Mami mengirim sesuatu ke apartemen kamu tadi siang. Minta tolong sama sekretaris Mami sih. Tapi Mami kirimnya pake ekspedisi, jadi paling nyampenya baru besok siang atau besok sore."
Dio ingin tertawa. Satu lagi yang khas dari Mami, beliau sering sekali mengirimi Dio bermacam barang via jasa ekspedisi pengiriman. Padahal, mereka tinggal di kota yang sama. Bedanya, Mami dan Papi mendiami rumah mereka di salah satu kawasan elit pusat bisnis ibukota, sementara Dio tinggal di apartemen dekat kampusnya yang berada agak di pinggiran kota Jakarta. Tentu akan lebih mudah jika Mami memakai jasa ojek online atau sekalian meminta bantuan sekretarisnya untuk mengantar benda-benda tersebut langsung ke apartemen Dio. Namun Mami sering bilang, cara yang seperti itu tidak romantis.
Yah—yah, Mami memang orang yang agak old-fashioned. Di era globalisasi dan perkembangan teknologi seperti sekarang, beliau dan Papi bahkan masih sering berkirim surat lewat merpati. Aneh, tapi romantis. Sebagai anak tunggal, Dio tidak pernah gagal terhibur oleh kelakuan kedua orang tuanya sejak dia masih kecil.
"Kirim apa?"
"Rahasia. Tapi yang jelas bukan tempoyak." Mami berkelakar. Tempoyak adalah sebutan untuk masakan yang dibuat dari fermentasi buah durian dan lekat dengan kebudayaan Melayu. Mami pertama kali mencobanya ketika berkunjung ke Bengkulu dan langsung tergila-gila dengan hidangan itu, berbeda dengan Papi yang bergidik karena tidak tahan baunya.
"Jangan lagi deh, Mi. Terakhir kali Mami kirim tempoyak, security apartemenku langsung heboh dikira aku baru dapat kiriman tikus mati."
"Itulah. Kebanyakan orang jaman sekarang nggak ngerti bahwa semakin bau suatu makanan, rasanya bakal makin enak."
"Iya, Mi. Iya." Dio menyahut lagi, kali ini sambil menghidupkan mesin mobilnya sebelum kemudian melajukan mobil itu keluar dari pelataran parkir Fakultas Kedokteran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Teen Fiction[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...