22 - Catching Feelings

51.1K 6.3K 1.8K
                                    

D I O

Kafe itu nggak terlalu besar, namun terletak di titik strategis pertemuan antara dua jalan yang kerap dilalui sama mahasiswa, entah ketika berangkat atau pulang ngampus. Bangunannya didominasi oleh warna-warna earthy yang terkesan hangat. Sebagian besar bagian kafe terbuat dari kayu yang dipelitur hingga halus, berwarna senada dengan meja konter dimana pengunjung kafe bisa memesan kopi mereka. Bagian lain yang nggak dibuat dari kayu berbahan batu-bata jingga yang memberikan kesan vintage-y artsy. Pada ceilings ruangan bergelantungan bohlam-bohlam kecil dengan panjang kabel bervariasi yang gue kira hanya bisa gue lihat melalui foto-foto dunia maya. Di malam hari, suasana kafe itu pasti sangat cozy dan enak dijadikan tempat nongkrong berdua.

Teman Hana punya selera penataan tempat yang bagus—atau dia punya anggaran besar untuk membayar jasa arsitek berkemampuan mumpuni.

Bel angin yang terpasang di pintu berbunyi saat gue mendorongnya dan berjalan masuk melintasi ruangan. Pada jam segini, kafe cukup ramai. Ada mahasiswa yang sibuk ngopi bareng teman-teman atau duduk sendirian dengan laptop terbuka di atas meja yang terletak di hadapan. Gue mengedarkan pandang ke segala arah, menyadari kalau Hana nggak ada di sana. Gue baru berniat berbalik dan keluar dari kafe tatkala mata gue beradu dengan sepasang mata milik cowok tinggi bercelemek cokelat di balik meja konter. Cowok itu mengangkat alis, lalu senyum tipisnya muncul, membuat kening gue berkerut seketika.

"Kayaknya gue tau apa yang lo cari." katanya setelah melambaikan tangan, yang otomatis menggerakkan gue untuk mendekatinya. Semula, gue sempat nggak yakin, tapi pada akhirnya gue menarik stool bar dan duduk menghadapi meja yang jadi pembatas diantara kita berdua.

"Apa?"

"Atau mungkin siapa?" Dia memiringkan kepala. "Nama gue Rainer. Lo bisa panggil gue Ray. Asal jangan Rain atau Iin."

"Hah?"

"Rain identik dengan hujan dan kesedihan. Gue nggak suka segala sesuatu yang berhubungan dengan kesedihan. Lagian, gue juga nggak mirip sama sekali dengan artis Korea yang katanya sempat bikin heboh karena acara bulan madunya di Sumbawa waktu itu. Soal Iin, Iin itu nama cewek. Gue memang orang Sunda, tapi gue bukan cewek Sunda, jadi thanks, gue menolak dipanggil Iin."

"Lo kenapa, sih?"

"Nama lo Dio, kan?"

"Dari mana lo tau?" Gue langsung balik bertanya.

"Hana beberapa kali cerita tentang lo."

Saat itu juga, gue paham kalau cowok ini adalah pemilik kafe sekaligus teman dekat Hana yang dimaksud Desna. Siapa tadi namanya? Ah, Rainer. Mendengarnya bicara begitu, ada rasa senang dalam diri gue, juga penasaran.

"Emang Hana ngomong apa aja tentang gue?"

"Cukup banyak."

"Bagus-bagus?"

"Kebanyakan bagus."

Alis gue berkerut. "Kebanyakan?"

"Bakal panjang kalau diceritain. But I can tell that she adores you."

"Used to."

"Hm?"

"She used to adore me."

Rainer terkekeh, entah apa maknanya. "Aw, really? Apa lo lagi nggak percaya diri sekarang?"

"Gue nggak ngerti maksud lo apa."

"Hng, kerjaan lo ini memang benar-benar cuma ngurus organisasi sama belajar ya?"

"Jujur, gue nggak ngerti maksud omongan lo apa."

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang