E D G A R
Dua minggu lewat setelah hari itu, dan Rinjani nggak pernah menghubungi gue lagi. Sesuatu yang bagus, karena jelas setertarik apa pun gue sama seseorang, gue nggak akan pernah bisa bersama dengannya jika dia menyuruh gue memilih antara dia atau Hana. Itu jelas nggak mungkin. Klasiknya, buat gue sahabat itu adalah segalanya. Apalagi Hana. Dia bisa aja dikategorikan sebagai cewek miskin prestasi dan suka diam-diam melipir ke Sephora atau Etude House buat numpang lipstikan ketika lipstiknya habis, tapi sosoknya yang penuh aib itulah yang membuat hidup gue nggak pernah rata. Et dah, udah kayak iklan keripik kentangnya Agnes Monica aja.
Selamanya, gue akan selalu punya sisi lunak buat Hana, bukan hanya karena dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa gue hujat sampai berbusa tanpa khawatir gue akan membuatnya tersinggung, juga karena keberadaannya terasa begitu alami bagi gue.
Seolah-olah dia memang sudah seharusnya ada di sana, dalam setiap bagian dari momen-momen dalam hidup gue, entah yang berfaedah maupun yang nggak penting-penting amat.
Sosoknya seperti udara, sulit membayangkan bagaimana cara melewati hari tanpanya.
Berita tentang gue yang sempat dekat namun akhirnya batal jadian dengan Rinjani langsung menyebar, bukan hanya di kalangan anak-anak yang lain kayak Je, Faris atau Rama, tapi juga pada mereka yang berada di luar circle pertemanan gue. Biasalah, namanya juga orang kurang kerjaan dan mengingat kultur negara kita tercinta ini memberikan kondisi bagi insan-insan bermulut nyinyir ala admin lambe turah maupun jamahliar, maka seenggak penting apa pun berita, tetap akan jadi berita. Ditambah lagi, Rinjani itu tergolong cewek yang cukup populer, bukan hanya di fakultasnya tapi juga sampai ke fakultas tetangga. Banyak barisan fanboy berani mati Rinjani yang diam-diam menghujat gue di belakang.
Yah, gampang memang menghakimi sesuatu ketika lo nggak tau apa-apa selain yang terlihat di permukaan. Rinjani emang cantik, punya body aduhai yang nggak kalah sama cewek-cewek girlband Korea yang lagi jadi hot topic itu, dengan prestasi segudang namun karakter artsy yang nggak hobi pamer tampang di sosial media. Namun di luar itu, segalanya nol. Seseorang yang menyuruh lo memilih antara dirinya atau orang-orang yang sudah ada lama dalam hidup lo adalah toxic yang akan menghancurkan lo saat masa lagi sayang-sayangnya sudah lewat.
Hari-hari gue terlewati seperti biasanya, minus menunggui Rinjani selesai latihan marching band atau menyertainya photo hunting ke sejumlah spot unik di Jakarta. Agak disayangkan, sebab Rinjani punya sense yang bagus dalam fotografi dan gue selalu suka alasan di balik setiap foto yang dia ambil, meski terkadang foto itu sesepele lalu-lintas ibukota yang padat atau pedagang koran cilik yang wara-wiri diantara deretan mobil mengilat yang mengantre lampu merah. Tetapi di luar itu, gue baik-baik saja. Nggak ada perasaan hampa, perasaan sedih atau bahkan menyesal.
Kebalikannya, gue justru punya lebih banyak waktu luang dengan Hana, yang kita isi dengan jalan-jalan ke tempat random selepas kelas. Je disibukkan dengan urusan asmaranya, begitupun Rama yang kudu pintar-pintar berlaku di depan pengawas kiriman Eyang Putrinya dari Jogja atau Faris yang makin dekat dengan Cleo. Dio sih nggak usah ditanya. Paling juga sibuk ngedate sama cadaver atau baca modul setebal kitab suci sampai subuh hingga kantung matanya segede tas birkin Hermes. Gue nggak ngerti gimana kelanjutan hubungannya dengan Hana, namun kemungkinan besar, gagal juga kayak gue sama Rinjani.
Haha. Rasain.
Jahat emang, tapi gue senang.
Finally, I have her all to myself.
Terdengar sangat selfish, tapi jujur aja, sejak ada Rinjani dan Dio, gue sama Hana hampir nggak punya waktu untuk nongkrong bareng, bahkan sekedar duduk bersebelahan sambil minum bubble tea aja nggak sempat. Sekarang? Kita berdua bisa melancong sampai ke Parung dengan tujuan nggak jelas hanya untuk membuang waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
أدب المراهقين[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...