D i o
"Hana lagi sibuk ngerjain tugasnya karena bentar lagi akhir semester. Gue rasa, untuk beberapa hari ke depan, dia nggak akan kesini."
Gue masih sibuk menyobek ujung kemasan kertas gula yang datang bersama secangkir kopi hangat ketika suara seseorang terdengar. Spontan, gue menoleh dan melihat sosok Rainer berdiri di balik meja, hanya beberapa jengkal dari tempat gue duduk—gue memang sengaja memilih tempat duduk yang menghadap ke meja tempat barista membuat pesanan, mirip dengan setting kebanyakan kursi bar yang menghadap meja bartender karena gue datang sendirian dan duduk di meja biasa akan membuat gue terlihat menyedihkan. Dia kelihatan sesegar biasanya, dengan rambut disisir rapi dan celemek cokelat melindungi kemeja putih yang lengannya dia gulung sampai siku.
"Gue nggak kesini untuk Hana."
"Oh ya? Gue nggak yakin lo kesini untuk kopi gue." Rainer menarik kursi yang berada di sisi dalam meja barista dan duduk di depan gue. Dia tersenyum, membuat wajahnya dihiasi dekik yang dalam.
"Memang bukan kopinya. Tapi tempat ini... gue nggak tau... gue suka tempat ini."
"Suka?" Rainer memiringkan wajah, terlihat tertarik. "Kenapa?"
"Tempat ini satu-satunya tempat dimana gue bisa merasa damai saat kangen sama dia."
"Now you said that, I think it's a coincidence."
"Coincidence?"
"Sebelum gue menamai kafe ini dengan nama Montserrat, gue sempat berniat menamainya Eirene." Dia kelihatannya bisa membaca ekspresi wajah gue yang nggak tau apa-apa tentang makna nama terakhir yang dia sebut, karena sejenak setelahnya, dia langsung menjelaskan. "Eirene adalah salah satu dewi dan dianggap sebagai personifikasi dari kedamaian. Konon, Eirene itu putri Zeus dan Themis. Biasanya, sosoknya digambarkan sebagai perempuan muda dan cantik yang membawa kornukopeia, tongkat dan obor."
"Oh." Gue manggut-manggut, hanya untuk kesopanan. Jujur, gue nggak pernah tertarik sama yang namanya mitos, termasuk segala sesuatu tentang legenda dewa-dewi Yunani yang buat gue hanya dongeng belaka. Hidup ini sendiri sudah punya banyak kepingan realistis untuk dipikirkan, jadi buat apa kita menenggelamkan diri dalam khayalan.
Khayalan itu membuang waktu.
Oke, gue jadi terdengar hipokrit karena selama beberapa minggu terakhir, gue tenggelam dalam angan gue sendiri.
Angan untuk mengulang waktu, sehingga semuanya bisa diperbaiki sebelum terlanjur terjadi.
Angan untuk mempunyai hak merengkuhnya, memeluknya selama yang gue mau.
Ah, nggak realistis.
"Lo pasti bukan penyuka sesuatu yang kayak gitu."
"Memang."
"Jangan bilang kalau lo nggak tau Hercules itu siapa."
"Gue tau Hercules." Gue menyambar cepat. "Dulu kan ada filmnya."
Cowok itu tertawa dan gue, sebagai makhluk sesama kaum pun, bisa melihat bagaimana gelaknya penuh dengan pesona. Agak sulit dipercaya, Hana bersahabat lama dengan orang ini dan mereka nggak berakhir sebagai sesuatu yang lebih teman. At least, itu yang gue tau dari Rainer.
"Kafe ini cukup jauh dari kampus lo."
Gue menyesap seteguk kopi, sengaja menelannya sebelum menjawab. "Memang."
"Sekarang juga akhir semester, yang itu artinya, lo bisa aja punya stok tugas yang menumpuk buat diselesaikan."
"Bisa jadi."
![](https://img.wattpad.com/cover/68469026-288-k417171.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love Song
Teen Fiction[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. Tentang kita, yang dulu sedekat nadi tapi terlalu rumit untuk menjadi. Dariku, yang masih...