17 - Sebuah Pengakuan

49K 6.8K 2.4K
                                    

H A N A

Tidur gue nyenyak banget karena entah kenapa, gue merasa lagi berbaring di atas kasur paling empuk yang pernah gue tidurin seumur hidup gue. Belum lagi aroma surga yang menyentuh hidung gue, entah aroma apa karena gue bukan ahli botani dan nggak punya ketertarikan ngapalin nama-nama bunga (lebih untung juga ngapalin nama-nama ikan, bisa bermanfaat kalau misal tiada angin tiada hujan gue ketemu Pak Jokowi kan bisa dapet sepeda) tapi yang jelas aromanya aroma mahal. Bukan tipe lilin aroma terapi-aroma terapian yang bisa lo dapatkan di toko serba goceng. Wajah gue terasa dingin terkena embus sejuk dari air conditioner, tapi bagian dada sampai kaki gue terasa hangat macam berendam dalam kolam renang yang baru dipipisin bocah. Nyaman banget, bikin gue mau terus molor untuk berjuta-juta tahun berikutnya.

Eh, tapi nggak deng, itu mah sama aja gue mati, mengingat gue bukan Snow White yang bisa masuk dalam peti kaca berbulan-bulan tanpa makan dan tetap cantik. Boro-boro terlihat seperti boneka yang membuat pangeran ingin mencium. Keburu jamuran dan jadi belulang kali badan gue.

Sayangnya, posisi wuenak gue itu nggak bisa gue nikmati lebih lama karena ponsel yang tiba-tiba berdering. Tadinya mau gue cuekin, tapi namanya juga anak jaman now ya, kalau dengar suara HP tangan mendadak bergerak sendiri macam badan kayak lagi kerasukan Valak. Tanpa gue sadari, tangan gue udah meraba-raba sekeliling dan berhenti saat menemukan tali tas. HP gue jelas ada di dalam tas itu. Gue tau bukan karena gue murid Ki Joko Pintar yang mampu menerawang, namun tentu saja karena bunyi HP yang terdengar lebih keras seiring dengan tangan gue yang menarik tas lebih dekat. Bahwasannya saudara-saudaraku, di dunia ini hanya kuntilanak yang apabila suaranya terdengar dekat berarti lokasinya jauh.

Terus kenapa gue malah bahas kuntilanak sekarang? Nggak tau. Mungkin karena diam-diam Mbak Kunti lagi bersama orang yang baca tulisan ini? Demi kemaslahatan umat, coba cek belakang punggung dan langit-langit ruangan tempat sedulur sekalian berada.

Ruangan tempat gue tidur gelap, karena lampunya dimatikan. Tapi gue masih bisa mengecek pesan yang masuk dan ternyata itu datang dari Edgar. Buset, nih anak udah bagus-bagus gue tinggal sama Rinjani, bukannya jalan kek, pegangan tangan kek atau cari kesempatan buat ngapa-ngapain gitu, ini masih aja ngerecokin gue. Sambil cemberut, gue membuka pesan LINE darinya.

Batak-o: Lo di mana?

Batak-o: Gue tadi ke kos Raya orangnya nggak ada

Batak-o: Dia malah lagi jalan sama Je

Batak-o: Oy, Jenong

Batak-o: Lo masih hidup kan? Ati-ati jangan sampai nyasar ke lingkungan lapo

Batak-o: Nanti lo dikarungin terus dipotong

Batak-o: Soalnya muka lo mirip babi

Batak-o: YOHANA

Batak-o: Kabarin kek, Nyet

Batak-o: Tertai

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: Gue khawatir tau

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Batak-o: P

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang