11 - Rinjani

57.6K 6.7K 848
                                    

D I O

Gue masih mengerutkan dahi memahami kata demi kata dalam istilah saintifik yang aneh di lembaran diktat kuliah gue ketika tiba-tiba ponsel gue berdering. Hanya dengan sekali lirikan, gue tau apa yang harus gue lakukan; menutup diktat gue, meraih ponsel dan menjawab panggilan yang masuk itu. Bukan karena teleponnya penting, tapi lebih karena siapa yang menelepon. Orang yang menelepon gue sekarang adalah Mami, dan gue bisa-bisa dikutuk jadi Siluman Bagudung kalau gue sampai tidak menjawab teleponnya dengan alasan sesepele sibuk belajar.

"Halo anak Mami yang paling tampan."

"Halo, Mi."

"Kamu lagi di mana?"

"Di kantin kampus. Ada waktu kosong sebentar. Tadi lagi sibuk baca-baca. Kenapa, Mi?"

"Sudah makan?"

Gue tersenyum kecut, menghela napas sambil menatap pada sekotak susu cokelat dingin yang tergeletak di atas meja kantin. Mungkin sudah tidak sedingin waktu gue baru mengeluarkannya dari dalam freezer. Kini embun-embun sudah menitik, berkumpul serupa gerombolan anggur transparan di permukaan kertasnya.

"Belum. Tapi aku udah minum—"

"Susu cokelat itu nggak sama kayak makanan berat, Dio. Aduh, kamu ini kapan sih mau mendengarkan Mami?" Mami mulai mengomel, sesuatu yang nggak pernah gagal membuat gue kepingin menjauhkan ponsel dari telinga karena nggak mampu mendengerakan repetannya yang sambung-menyambung serupa deru asap knaplot Kopaja itu terlalu lama. Tapi anehnya, selalu ada waktu-waktu dimana gue justru merindukan omelan itu. Entah kenapa. Mungkin karena omelan seorang ibu akan selalu begitu?

"Iya, Mi. Nanti sore aku makan."

"Kenapa harus nanti sore?"

"Karena sebentar lagi kelasku yang lain dimulai." Gue menjawab sambil tersenyum, walau Mami jelas nggak akan bisa melihatnya. "Juga, karena nanti sore aku ada agenda ngajarin teman kuliahku kalkulus."

"Oh, anak kedokteran jugakah?"

"Bukan, Mi. Anak teknik."

"Bah, jauh kali mainmu itu." Mami berkomentar. "Cewek apa cowok temanmu itu?"

"Perempuan."

Hening sejenak. Gue sengaja membiarkan. Mungkin Mami kaget, karena ini pertama kalinya dia mendengar gue cukup dekat dengan makhluk bernama perempuan hingga bisa mengajarinya kalkulus, apalagi dia berasal dari departemen yang berbeda. Nggak heran, karena setelah peristiwa waktu itu, gue seperti menutup diri dari segala sesuatu yang mempunyai vagina dan payudara.

"Pacar kamu?"

Gue berdehem, lalu mengoreksi. "Teman."

"Teman on the way pacar?"

"Mami!"

Di seberang sana, tawa manis Mami pecah. "By the way, Mami sudah lihat lipstik yang kamu belikan buat Mami. Warnanya bagus. Tumben sekali kamu bakat milih warna. Mami suka. Makasih, ya."

"Aku senang kalau Mami suka. Temanku yang bantu pilihin."

"Teman yang mana lagi?"

"Teman yang nanti sore aku ajari kalkulus."

"Wah, rupanya pilihan lipstik dia satu selera dengan Mami."

Lagi-lagi, gue hanya bisa terseyum dan itu membuat Mami kembali meneruskan ucapannya yang sempat terjeda.

"Oh ya, Dio, anyway akhir pekan ini, Ompung kamu jadi datang ke Jakarta. Katanya mau merayakan ulang tahunnya sama cucu-cucu dan cicit. Berhubung sekarang bukan musim liburan, jadi Ompung yang kesini. Mami sama om dan tantemu rencananya mau bikin garden party. Kamu bisa datang minggu depan kan, Nak?"

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang