4 - (Bukan) Pandangan Pertama

80.6K 9.6K 1.4K
                                    

H A N A

Seumur hidup gue, gue nggak pernah sekali pun pergi ke klub malam, bar atau tempat sejenis—oke, mungkin pernah tapi itu dulu banget dan dengan status sebagai bocah yang nemenin bokapnya janjian sama salah satu rekan kerja, dan rekan kerja itu ngajakin bokap ketemuan di bar. Tumbuh besar di lingkungan yang lumayan agamis membuat gue sempat memandang klub malam, bar dan tempat sejenisnya sebagai markas besar para setan, dan karena gue sudah punya setumpuk dosa yang mungkin tingginya bisa nyaingin Gunung Himalaya, gue jelas akan menghindari tempat-tempat semacam itu.

Tapi seperti yang lo tahu, setelah gue ketemu sama Edgar di bangku SMA, dimana dia kemudian mengubah gue dari yang tadinya seorang ukhti alam berkerudung panjang macam jubah Superman menjadi ahli dosa, alergi gue terhadap tempat semacam klub dan bar sudah menguap entah kemana. By the way, gue belum pernah meniatkan diri untuk pakai kerudung. Beberapa orang bilang gue bakal menyeret orang tua gue ke neraka dan segala macam dalil yang menyebutkan kalau pakai kerudung itu adalah kewajiban buat gue, tetapi gue nggak terlalu peduli. Satu-satunya alasan kenapa gue pakai kerudung waktu SMP adalah karena sekolah gue sekolah swasta islam. Satu-satunya alasan kenapa gue pakai kerudung waktu SMA adalah karena sekolah gue adalah sekolah negeri tapi juga mewajibkan siswinya pakai kerudung.

Lagipula, meski gue rada bego, gue cukup pandai untuk memahami kalau urusan surga dan neraka adalah urusan pribadi antara gue dan Tuhan gue. Nggak ada yang boleh ikut campur. Apalagi kalau mereka hanya orang asing.

Karena Nyet, gue nggak akan nyeret lo ke neraka buat gigit besi panas dan minum air mendidih sama-sama. Nggak akan. Karena neraka bukan tempat makan-makan.

Oke, sebelum gue panen lebih banyak hujatan lagi dan karena bahwasannya masalah keyakinan itu adalah masalah sesensitif masalah kelamin—dimana masalah kelamin adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan bahkan oleh Feni Rose sang presenter acara gosip SILET sekali pun—mending kita skip bagian itu..

Malam ini, teman hangout gue selain Edgar si Batak Sinting adalah Faris juga Dio, anak BEM FK yang kata Faris super pintar itu. Gue nggak terlalu antusias sama kedatangannya, sebetulnya. Maksud gue, come on, anak kedokteran gitu loh. Lo tau, anak kedokteran sejenis Anton Tanjung itu cuma ada di sosial media doang. Mayoritas anak kedokteran biasanya punya kantung mata sehitam kayak baru balik dari lembah penyiksaan Gunung Kawi. Gue maklum aja, sih. Kalau gue aja udah hampir tewas karena rekayasa tangan tak bertanggung jawab milik Nana Supena, apalagi mereka yang setiap jamnya bergelut dengan diktat setebal catatan dosa gue selama sepuluh tahun. Ada juga yang ganteng, tapi biasanya mereka masih keturunan Tionghoa.

Sebelum lo mencap gue rasis, gue harus menjelaskan kalau gue nggak anti sama makhluk-makhluk berkulit kuning yang masih senegara asal sama panda. Gue suka cowok oriental. Terutama oppa-oppa Korea yang perawatan kulitnya jauh lebih mahal daripada uang kuliah gue setahun serta biaya wardrobe yang mungkin ngalahin harga dua ginjal gue di pasar gelap. Sayangnya, nyokap nggak. Nyokap paling anti punya menantu oriental. Entah kenapa. Mungkin nyokap khawatir gue bakal dijual di Glodok kalau-kalau setelah menikah, keuangan keluarga bangkrut. Padahal sih ya, siapa juga yang mau beli gue?

Udah bolot, makannya banyak, nggak bisa bersih-bersih pula. Yah, meski pun gue cantik. Itu bukan kata gue, tapi kata kaca di kamar gue.

Jadi gue nggak punya ekspektasi lebih terkait anak kedokteran yang katanya anggota BEM ini. Gue justru sibuk mikirin kakak-kakak baik yang udah bayarin kekurangan sembilan ratus perak belanjaan gue tadi sore. Kakak itu ganteng banget. Mukanya bercahaya, seolah tiap pagi dia berendam pakai air zam-zam. Terus baik pula. Coba kalau gue bertindak sok imut gitu di depan Batak, pasti kepala gue udah bertelur tiga karena habis dijitakin.

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang