23 - Petrichor

49.1K 6.6K 2K
                                    

R I N J A N I

Langit kelihatan muram hari ini. Sejak pagi, awan kelabu bergelantungan di langit, terlihat sarat muatan dan bisa menumpahkan isinya sewaktu-waktu. Udara dingin, membuat kebanyakan mahasiswa yang gue temui di koridor tidak mampu menahan diri untuk tidak sekedar merapatkan jaket yang melekat di badan mereka. Gerimis yang turun membentuk tirai tipis membuat suasana kian lembab. Untuk sejenak, gue serasa berada di belahan Bumi yang lain, bukan di ibukota yang biasanya panas membara oleh terpa surya.

"Suasananya udah pas banget kayak Forks." Desna yang duduk di depan gue tiba-tiba bergumam sambil memandang langit. "Kurang Edward Cullennya aja."

"Edward Cullen, pantat lo tepos! Edward Cullen dan Bella Swan itu kisah cinta yang too good to be true. Mengajarkan fantasi nggak bener ke cewek-cewek jaman sekarang. Mana ada cerita yang sesempurna itu? Dan lagi, di dunia nyatanya, Bella udah cabut dari Edward dan cari sesama cewek buat dipacarin!" Fahmi, cowok yang berada di sebelah Desna ikut menimpali.

Yah, saat ini gue lagi duduk di kantin FSRD bersama beberapa teman gue. Menyebut mereka teman mungkin terlalu dangkal, tapi mereka belum sedekat itu dengan gue hingga bisa dipanggil sahabat. Kita saling mengenal sejak masih mahasiswa baru dulu, gara-gara acara kampus yang menempatkan mahasiswa satu universitas dalam sebuah kelompok untuk mengerjakan tugas-tugas acara penyambutan maba yang berlangsung selama tiga hari. Gue nggak sesering itu mengobrol dengan mereka—totalnya ada lima orang, tiga perempuan dan dua laki-laki—namun komunikasi diantara kita nggak pernah terputus karena groupchat LINE jaman dulu yang masih eksis sampai sekarang. Fahmi dan Hadi—dua cowok diantara kita berenam—berasal dari dua fakultas yang berbeda. Begitu juga dengan Desna, Indah dan Lani. Desna tentu yang paling sering menyertai gue kemana-mana karena jadwal kita berdua lebih fleksibel disbanding yang lain.

Hanya saja, hari ini kita kebetulan bisa ngumpul karena ada beberapa kelas yang dicancel dosen sekaligus untuk melepas rindu (alasan nggak banget ini disponsori oleh Hadi).

Ah ya, sesuatu yang mungkin lo nggak tau, Hana juga termasuk ke dalam grup tugas ini dulu. Itu juga alasan kenapa gue cukup mengenal Hana. Tapi dia juga jadi satu-satunya anggota grup yang keluar dari grup. Bukan karena ada gesekan dengan anggota grup yang lain, melainkan karena waktu itu ponselnya ganti dan secara otomatis, dia ikut ganti akun LINE karena lupa password.

Meski begitu, Hana nggak berinisiatif mau masuk lagi ke grup dan diantara kita juga nggak ada satupun yang tergerak untuk invite dia lagi.

"By the way, muka lo kenapa, deh?"

Gue tetap saja diam, nggak mengira jika kata-kata Hadi itu ditujukan buat gue. Satu-satunya yang gue lakukan masih tetap menyentuh gelas berisi teh hangat yang tadi gue pesan dengan kedua telapak tangan. Udara betul-betul dingin dan temperatur air teh yang merambati permukaan gelas mampu membuat tangan gue yang merasa nyaman.

"Rinjani?"

Gue tersentak dengan ekspresi yang pasti membuat wajah gue kelihatan bodoh banget. "Hah? Tadi lo ngomong apa?"

"Muka lo nggak enak banget."

"Kasih Ajinomoto coba biar enak."

"Seorang Rinjani ngelawak. Dan tetap saja garing." Fahmi terkekeh. "Kenapa? Masih kepikiran sama apa yang gue kasih tau ke lo semalam?"

Gue berdeham. "Fahmi, tolong ya, gue lagi nggak—"

"Gue mencium sesuatu yang nggak beres disini." Sebelum gue bisa menyelesaikan kata-kata gue, Lani sudah lebih dulu memotong. Matanya menatap Fahmi dengan sorot curiga. "Kalian main rahasia-rahasiaan diantara kita?"

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang