BAB 9: Beijing

166K 7.5K 121
                                    

"Cepat bangun!" Edward mengguncang bahu Cessa yang masih pulas tertidur. Edward sudah rapi dengan jas hitamnya, tapi Cessa masih enggan membuka mata.

Malika sedari tadi menggongong, Edward menggendongnya, "Kamu bangunkan ibumu, ada yang harus ayah urus dulu," Malika loncat ke kasur dan mulai menggeliat di perut Cessa.

Edward langsung menelfon Tommy, "Kamu siapkan pesawat, aku akan ke Beijing hari ini," Tommy berdeham, "Anda di mana, Tuan? Tadi Tuan Romy datang ke kantor,"

"Aku ada di apartemen Frecessa, dan kau bilang saja pada bocah ingusan itu kalau aku aku sibuk di China," Edward langsung memutuskan sambungan.

Edward melirik Cessa yang malah makin menenggelamkan wajahnya di bantal, kenapa dia lelah sekali? Seperti orang yang habis ditiduri saja.

"Kau yang memaksaku, sayang," Edward menggendong Cessa secara bridal. "Kau diam di sini, ayah akan kembali," Edward melempar makanan kesukaan Malika.

Edward masih menggendong Cessa hingga lobi, sampai mereka masuk mobil Cessa anteng dalam gendongan Edward, malah meletakan kepalanya di ceruk leher Edward.

"Kau tidur atau mati?" Edward pasrah.

***

Cessa terbangun saat ada suara pekikan. Ia membuka matanya lebar-lebar, "Maafkan aku, aku kalah bermain ini," Cessa melihat Edward yang sedang bermain game online.

Ia membetulkan posisi duduknya. Tunggu sebentar, duduk? Cessa langsung menyapu pandangannya, iya, dirinya duduk di kursi penumpang pesawat. Tapi hanya ada dia dan Edward saja.

"Hey, kita di mana?" Cessa melihat keluar jendela, hanya ada awan-awan saja, jelas.

Edward hanya diam dan fokus pada permainan COC, "Kita mau ke mana?" Cessa berdiri, hanya ada mereka saja.

"Kita di jet pribadiku menuju Beijing, tentu hanya kita berdua saja, kenapa?"

Cessa langsung memukul bahu Edward, "Kau gila? Aku belum mandi, aku juga tidak membawa apa-apa ke sana," ucap Cessa dengan suara meninggi.

"Aku sudah mandikan kamu,"

Mata Cessa melotot, "KAU!!" Ia mencubiti perut Edward dengan ganas, tapi perut Edward itu seperti batu, jadi hanya efek geli yang Edward rasakan.

"Kau percaya diri sekali, kau itu belum mandi, bahkan mulutmu bau busuk!" Ucap Edward dengan tawa yang berderai.

Cessa diam, ia menutupi mulutnya. "Kau tidur seperti orang mati, aku bangunkan dan tidak ada pergerakan sama sekali, aku pikir kau mati beneran," Cessa cemberut.

"Cepat sana kau mandi, aku sudah tidak tahan dengan bau mu seperti tikus mati," Cessa langsung meninggalkan Edward.

Cessa berdecak kagum dengan jet ini, fasilitasnya lengkap, ada kamar tidur, kamar mandi juga ada, kursi penumpang yang tadi Cessa duduki juga sangat nyaman. Interiornya sangat berkelas.

"Tolong tampar saya," ucap Cessa pada salah seorang pramugari, awalnya pramugari itu tidak mau, tapi Cessa memaksa.

Hanya sekali dan itu nyata. Plak! Cessa benar-benar tidak bermimpi, dia memang menaiki jet pribadi yang mewah milik Edward.

"Anda ingin mandi, mari saya antarkan ke tempatnya," pramugari itu mempersilahkan Cessa.

Cessa masuk ke ruangan dan langsung diarahkan masuk ke pintu cokelat, ia menurut dan ternyata itu kamar mandi. Cessa mengunci pintu dan segera melepas baju, dan langsung berendam.

***

Edward lelah menunggu Cessa yang belum selesai mandi, ini hampir satu jam. Eh, tidak heran, sih, Edward kalau mandi bisa dua jam malahan.

Wangi lemon mulai memasuki indera penciuman Edward, ia menengok ke belakang, Cessa. Ia mengenakan jump suit warna pink pastel, lucu sekali.

"Aku sekarang benar-benar menganggap dirimu adalah lady boy," semprot Cessa dan duduk di samping Edward.

"Kau menyimpan pakaian wanita, tidak di sini atau di penthouse," tambah Cessa, Edward hanya mengedikan bahunya.

"Kenapa kau mengajakku? Harusnya kau bisa mengajak Dele atau asisten pribadimu, Tommy,"

"Kau bilang akan mengajak ku pergi, jadi aku di sini menagih janji mu," ucap Edward datar.

"Aku harap, penthouse mu yang di China tidak ada majalah dewasa yang bisa merusak mata ku lagi," Edward tertawa, "Aku hanya menyimpan poster di sana,"

***

Cessa hanya mengikuti langkah Edward, mereka sudah mendarat di bandara ibu kota Beijing.

"Kita mau ke mana?" Cessa ikut masuk ke mobil lamborgini Edward, "Ke mana-mana," sahut Edward.

Cessa malas menanggapi dan ia hanya membuang mukanya ke luar jendela.

Kota Beijing, kota penuh sejarah, Cessa ingin sekali berkunjung ke tembok China, selama ini ia hanya bisa melihat tembok China orang, kuburan yang Cessa maksud.

"Aku rindu kota ini," ucap Edward entah pada siapa. Cessa menoleh, "Aku suka kota ini," Cessa tersenyum, "Tapi kota ini menyakitkan untuk ku, banyak masa buruk terjadi," senyum Cessa luntur.

"Kota Beijing yang penuh dengan sejarah," lagi, kata Edward entah berbicara pada siapa ia tujukan.

"Kau tahu, kau ada hingga saat ini sebagai pengingat," tangan Cessa terulur mengelus bahu Edward, dan entah kenapa itu membuat Edward merasa hangat.

"Aku hanya sedang merindukan ibuku," Cessa tersenyum, "Aku juga, padahal ibuku tinggal di Bali, tapi aku sulit bertemu karena faktor uang. Uang merubah segalanya."

Edward menoleh dan tersenyum simpul, "Kau benar, uang bisa merubah segalanya,"

"Wômen yîjīng lái dào, Boss," ---kita sudah sampai--- Edward mengangguk, "Xièxiè," ---terima kasih--- dan Cessa hanya mengikuti langkah Edward, karena tangan besarnya terus menggenggamnya.

Cessa kembali berdecak kagum dengan penthouse Edward. Cessa menepuk jidatnya, dia ini terlihat sekali kampungannya.

"Asal kau tahu saja, kita ke sini untuk bulan madu yang menjadi aktifitas wajibnya," kata Edward sambil melepas dasi yang menggantung di lehernya.

Cessa sudah siap dengan kepalannya, "Kau ini sok menjadi pria penjahat kelamin," sahut Cessa datar.

"Ah, mungkin kau lupa yang semalam, kau kan banyak sekali minum vodka yang aku beri obat perangsang," mulut Cessa terbuka lebar. "Ka--kau yang benar saja! Bagaimana bisa kau mencuri kesempatan dalam kesempitan?"

"Hey, laki-laki tidak akan mencuri selagi ada kesempatannya," Edward menyeringai, "Kalau kau hamil, mungkin itu kebocoran pengaman,"

Cessa melotot, apa semalam memang terjadi sesuatu, sampai ia kelelahan tidur? Tapi, mereka kan hanya menonton film Insidious saja.

Detik berikutnya, kaki Cessa serasa lemas, ia menangis, Edward yang melihat buru-buru menarik Cessa ke dalam pelukannya.

"Aku... hanya bercanda, kenapa kau sangat terbawa perasaan sekali? Kau ini," Edward langsung mencium dan melumat bibir Cessa tanpa ampun.

Cessa diam, dia tidak mau membalas, tapi bibir Edward itu pemaksa, sama seperti yang punya membuat Cessa membuka mulutnya.

"Maaf Tuan, makan malam telah siap," dan perkataan pelayan itu menghentikan mereka. Cessa lamgsung mendorong, dua menit lagi mereka berciuman, Cessa akan mati karena kehabisan napas, mungkin.

"Lain kali jangan kau ulangi," Cessa menghapus air mata dan mengelap bibirnya, Edward menyeringai, dan ia mencium bibir Cessa singkat, "Jangan dihapus ciuman dari ku,"

Cessa tersenyum kaku pada pelayan yang hanya menonton mereka.

***

Big Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang