BAB 54: Who are You?

77.9K 4.3K 157
                                    

Tatapan tajam Edward sangat menusuk pada Rachel yang sekarang sudah terduduk di sofa.

"Kau Rachel Drew? Tolong jawab jujur!" Bentak Edward membuat Rachel meneteskan air matanya. "Aku tidak butuh tangismu, aku butuh jawabanmu! Siapa kau?"

"Aku Rachel Marcelia! Memangnya kenapa? Kau tidak percaya aku?" Ucap Rachel dan menunduk.

"Astaga, aku yakin kau memang Rachel Marcelia, kau pasti bukan keluarga Drew, aku yakin." Edward tersenyum membuat Rachel berani menatapnya.

Lalu, Rachel langsung pamit pergi, ada urusan lain, katanya.

"Kau percaya begitu saja, hm?" Suara tanya Cessa, setelah beberapa saat dia diam.

"Tentu, aku kenal dengannya,"

"Kau hanya tahu namanya saja, tidak dengan kehidupannya, 'kan?"

"Cessa, aku kenal dia dan aku tahu bagaimana kehidupan Rachel, dia tidak punya orangtua, dia suka sekali dengan kehidupan malam, dia---dia--- pernah bicara padaku, bahwa dia ingin menghancurkan hidup seseorang, karena hidup dia... telah dihancurkan," ujar Edward.

"Aku pernah melihat kartu pengenal sebagai warga negara New York, di kartu itu tertera nama Rachel Drew, bukan Marcelia," tutur Cessa.

Edward menepuk jidatnya, "Siapa dia? Kenapa Rachel selalu saja membuatku pusing!"

Cessa memutar bola matanya, "Bukan dianya, tapi kau yang membuat semuanya rumit!"

Terdengar gonggongan Malika dan berlari menghampiri Edward.

"Anak Ayah! Ayah rindu padamu," Edward mengangkat tubuh Malika dan ia cium puncak kepalanya.

"Apa kau mau jalan-jalan pagi? Tapi ini sudah siang, kapan-kapan kita akan jalan," Edward mendekatkan bibirnya ke telinga Malika dan membisikkan, "tapi nanti, kalau Ayah sudah resmi menjadi Ayahmu,"

"Apa katamu, Ed? Kau baru saja membisikan Malika apa?"

Langsung saja Edward menjauhkan wajahnya dan mengusap-usap kepala Malika, "Tidak, Ayah tidak bilang apa-apa 'kan, sayang? Pintar!" Edward mencium kepala Malika.

"Beberapa hari lagi, kau dan Carly... menikah, tidak terasa,"

Terdengar helaan napas panjang Edward, "Aku mau... berhenti,"

Kening Cessa mengerut, "Berhenti? Berhenti apa maksudnya?"

Edward membiarkan Malika tidur-tiduran di karpet tebal ruang tengah, "Nanti kau juga akan tahu. Masih mau menunggu?" Sebelah alis Edward terangkat.

"Ed... maksudnya apa? Aku sama sekali tidak meng---"

Secepat itu, Edward menarik Cessa ke dalam pelukannya, tangan besar Edward menggenggam tangan Cessa, "Tunggu aku, jangan kamu jatuhkan hati pada orang lain, aku mohon."

Dengan susah payah, Cessa menelan salivanya, tidak percaya akan apa yang barusan Edward katakan. Walau bukan sebuah pernyatan cinta, tapi setidaknya... Cessa tahu, rasa cintanya mulai terbalaskan.

"Aku akan menunggumu, sampai kau selesai dengan semuanya. Aku janji." Cessa mengeratkan kaitan tangan mereka.

***

Suara isakan Rachel terdengar di sudut kamarnya yang kecil. Kakinya ia lipat, tangan Rachel gemetar, entah kenapa dia terlalu takut identitasnya diketahui oleh orang lain, sekalipun teman.

"Kak Steve, aku takut..."

Ketukan pintu kamar kostnya membuat Rachel makin takut. Ketakutannya adalah, jika saja Nelson tahu, nyawanya habis saat itu juga. Untuk menghapus jejak keluarga Drew.

Tok! Tok! Tok!

"Rachel! Aku tahu kau ada di dalam, keluarlah! Ini aku, Kak Ben."

Kepala Rachel langsung terangkat, dengan cepat dia menghapus air matanya. Rachel membuka pintu, wajahnya lega melihat Ben dengan senyumnya yang menenangkan.

"Kak Ben! Acel takut," Rachel kembali meneteskan air matanya.

Ben menarik tubuh lemah Rachel ke pelukannya, "Ssst, kak Ben ada di sini, Acel tidak perlu takut, semuanya akan terbalaskan, tunggu tanggalnya saja," ucap Ben berusaha menenangkan.

"Kenapa Acel bohong soal identitas? Lalu... selama ini Acel ke mana saja? Kak Ben pusing mencarimu," omel Ben layaknya sebagai kakak laki-laki.

Rachel melonggarkan pelukan Ben, "Aku selama ini ke mana saja, selama aku bisa mencari uang, mulai dari pekerja paruh waktu, pelayan toko, pengantar makanan cepat saji, asal aku bisa lulus kuliah. Aku bohong soal identitas karena... aku takut pada Nelson, aku... takut aku akan diperlakukan sama seperti kak Steve,"

Ben menghela napasnya, "Sekarang kamu berada di tempat yang aman, kamu temannya Edward, kan? Kakak bekerja dengan Dawin," Ben teesenyum.

"Hah? Serius? Kenapa baru kali ini kita bertemu?"

"Aku sempat didepak oleh Edward, karena aku memata-matai Cessa, Edward sedikit posesif sekali," Ben tertawa mengingat kejadian pantatnya ditendang Edward.

Rachel tertawa, sedikit menampakkan deretan giginya.

"Bagaimana keadaan makam kak Steve? Apa baik? Kau doakan dia tidak? Ayah dan ibumu?"

Rachel mengangguk, "Semuanya baik, mereka sudah bahagia di sana. Pasti Tuhan sayang pada kak Steve, ayah dan ibu," ujar Rachel seraya tersenyum.

"Pasti. Orang baik, akan mendapat tempat terbaik. Dan kita, harus selalu mengirimkan mereka doa."

Lagi-lagi Rachel mengangguk. Sedikit rasa takutnya mulai mengurai.

***

Saking gemasnya, Juli berguling-guling dengan anjing kesayangannya di ruang tamu rumahnya.

Barusan, Romy datang dengan membawakan bunga tulip kesukaannya, walaupun sedikit sakit, karena Romy datang bersama surat undangan pernikahannya.

Gemas yang Juli rasakan antara bahagia dan sakit dicampur dan diaduk-aduk.

"Kau adalah orang yang hebat, bisa membuatku merasakan bahagia dan sakit dalam waktu bersamaan." Gumamnya.

Juli bangkit duduk, seraya tersenyum kecut dan melihat undangan berwarna merah pekat itu.

"Dress code putih? Memangnya aku mau menikah juga apa?" Dengus Juli dan kembali berbaring dengan anjingnya yang masih asyik bermain-main.

"Andai aku mengenalmu lebih dulu daripada Cessa, pasti tidak akan begini ceritanya," Juli menutupi wajahnya dengan undangan itu.

Selipan kertas kecil jatuh dari amplop undangnya. Dahi Juli mengerut, ia duduk dan membacanya.

Pakai gaun yang nanti aku kirim, tolong kau pakai. Itu hadiah dariku untukmu.
Romy F.

"Hadiah? Untuk perpisahan?" Sinis Juli.

***

Big Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang