BAB 7: In Penthouse

173K 7.9K 92
                                    

Edward menatap tidak suka pada Cessa yang justeru tersenyum ramah pada karyawan baru itu. "Perkenalkan namaku Frecessa," Edward berdecih mendengar suara lembut Cessa.

Suara itu harusnya hanya Edward yang mendengar, kenapa jika Cessa bersamanya selalu dengan nada kesal?

"Hey, kau! Siapa namamu tadi, Ben---benjol?" Tanya Edward sambil membolak-balikkan berkas di hapannya. Cessa berdecak, "Namanya Ben Payne, kau sebut nama harus benar! Bagaimana jika orangnya marah?"

"Aku tidak perduli! Dan kau, cepat pergi bersama Tori untuk rapat di Bali," Ben mengangguk, ia mengerlingkan matanya pada Cessa sebelum pergi.

Tanpa Cessa sadari, ia sudah mencengkram bahu Edward gemas, "Apa kau begini jika sedang salah tingkah? Dia hanya kelilipan, bukan mengerlingkan, jadi jangan percaya diri," Edward membanting laptop dan keluar dari ruangan tempat Cessa interview waktu itu.

"Dia itu kenapa? Aku kan tidak sengaja mencengkramnya," Cessa memutar bola matanya.

Cessa keluar dan mengikuti Edward, "Ketagihan menjadi asistenku, huh?" Cessa menatap Edward, "Lupa atau amnesia, aku menghukum hanya sehari, jadi pergi ke asalmu!" Bentak Edward dan langsung masuk ke lift.

"Kau bisa berbicara dengan pelan, tidak perlu berteriak," ucap Cessa sebelum pintu lift tertutup.

Hanya karena Cessa lupa, Edward marah begitu? Sebenarnya dia itu kenapa? Sejak kedatangan Ben tadi, rahangnya sudah mengeras.

***

Edward menghela napasnya, ada apa dengannya yang tiba-tiba marah pada Cessa karena terlalu dekat-dekat dengan Benjol. Edward memijit pelipisnya, pusing sekali rasanya.

"Hallo, Del, tolong kau berikan laporan tentang proyek di Bandung, aku mau lihat perkembangannya," Edward langsung menutup sambungan tanpa mau mendengar jawaban Dele.

Sekarang rasa pusing menyerang Edward, dengan cepat ia membuka laci meja dan mengambil botol obat, ia mengambil tiga kapsul dan ia telan dengan dorongan air.

"Astaga!!" Cessa mendekati Edward yang sudah terkapar di lantai, Cessa melihat kotak obat penenang yang tergeletak di meja. Cessa baru saja akan mengambil gagang telfon, tangan Edward menahan, "Always with me, promise?"

"Apa obat penenang mempengaruhimu? Kau mabuk juga, ternyata?" Cessa melihat botol vodka terbuka, "Promise to me," ucap Edward lagi, matanya menatap sendu.

Cessa mengangguk, "Kita harus ke rumah sakit sekarang," Edward menggeleng, "Penthouse ku saja," katanya dan ia langsung memejamkan mata, pingsan. "Dele panggilkan sopir Edward!" Ucap Cessa dengan nada panik.

***

Sudah dua jam Edward nyenyak dalam tidurnya, tadi dokter sudah memeriksa keadaan Edward, dia terlalu banyak mengonsumsi obat penenang, membuat kepalanya pusing sekali.

Cessa duduk di samping ranjang, ia menatap wajah Edward. Jika ia bangun, wajahnya itu mesum sekali, tapi saat ia tertidur wajahnya lebih mirip seperti anak kucing yang manja. Perlahan, mata Cessa juga ikut terpejam. Cessa membenarkan posisi dengan bersandar pada nakas.

Lelah sekali membawa tubuh Edward yang hanya dibantu sopirnya itu.

"Engghhh," lenguh Edward memegangi kepalanya, ia melirik ke balkon, sudah gelap. Dan melirik ke jam yang di nakas, tapi tatapannya beralih pada Cessa yang sudah meringkuk di lantai.

Edward bangun dan mengangkat tubuh Cessa ke ranjang dan ia selimuti tubuhnya, "Makanya, kamu jangan buat aku cemburu, jadinya kamu aku marahi siang tadi," tanpa sadar Edward mengucapkan itu dan mengecup bibir Cessa lama.

***

Paginya, Cessa terbangun saat sinar matahari menusuk matanya.

"Kamu sudah bangun? Ayo makan dulu," Cessa menyipitkan matanya, lalu detik berikutnya ia membuka mulutnya lebar. Edward bertelanjang dada, dan hanya handuk yang menutupi pinggang hingga lututnya.

Cessa cemas, ia membuka selimut dan melihat keadaan pakaiannya, sama. Itu artinya, semalam Edward tidak macam-macam, hanya saja, Cessa tidak tahu, semalaman Edward menahan agar ia tidak makan tubunya.

Karena posisi tidur Cessa yang memeluk dan sebelah kakinya menindihi kaki Edward, posisi nyenyak Cessa dan posisi menyiksa untuk Edward.

Cessa berjalan mengikuti Edward, dia sudah duduk dan menyantap pancake dengan siraman madu.

"Ku lihat kau lebih baik dari yang kemarin," ucap Cessa dan menarik kursi di sebrang Edward, "Hm,"

"Kau kenapa? Tidak suka aku di sini? Kemarin kau bilang aku harus janji harus bersamamu, jika tidak mau ya sudah, aku lebih baik pulang,"

Edward mengerutkan dahinya, janji? Dia tidak bicara apa-apa, seingatnya. Cessa mengamati mimik wajah Edward, ia berharap Edward masih ingat kata-kata itu, ya Cessa tahu, saat itu Edward tidak sadar.

"Aku lupa," ucap Edward setelah beberapa saat terjadi keheningan. Dan Cessa tahu akan seperti ini.

Edward itu gampang sekali bicara, seperti berkata ada kucing terbang.

Cessa mengedikan bahu dan ikut memakan pancake buatan Edward.

'Buat apa juga aku sedih mendengar ia melupakan apa yang kemarin ia ucapkan, Cessa tegaskan pada dirimu, kau hanya seorang karyawan, tidak lebih!'

"Kau harus temani aku seharian ini, ini hukuman karena kamu yang menyebabkan ini,"

"Kamu yang berbuat aneh, kenapa harus aku yang tanggung jawab? Memangnya aku sudah merebut keperawananmu?" Sahut Cessa sengit.

"Kau berbicara seolah-olah kau adalah wanita yang sudah tidak perawan lagi, cih!" Edward tersenyum sinis.

"Bukan urusanmu aku perawan atau tidak," Cessa sudah tak berselera makan dan ia langsung masuk ke dalam kamar mandi.

"Kalau ingin mengganti pakaian, ambil di sofa dekat tv," Cessa mengerutkan dahinya, "Dan sekarang aku curiga kalau kau adalah lady boy," Edward tersedak mendengarnya dan ia menenggak habis air putih di gelas.

"Ups, kau menjatuhkan celana dalam mu," ucap Edward tersenyum sinis melihat Cessa yang tanpa sadar menjatuhkan barang pusaka miliknya.

***

Publish nggak pake edit lagi;v yang penting bisa up ceritanya;v

Ngantuk, bye!

2017, 28 Juni
01.34 WIB

Big Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang