Edward berusaha mengenyahkan ciuman panasnya dengan karyawan baru itu. Sungguh, bibir Cessa itu seperti narkotik, membuatnya jadi candu. Apa Cessa pakai guna-guna di bibirnya? Hanya orang bodoh yang beranggapan begitu.
Dan sekarang Edward berada di sebuah klub malam ternama Jakarta, "Give me one bitch!" Edward menenggak habis alkoholnya. Beneran, deh! Saat Cessa menendang kelamin Edward ada sensasi menggelitik, dan itu menyiksa diri Edward yang jadi kelimpungan sendiri.
"Hey..." satu pesanan datang, tanpa Edward minta, wanita itu mulai mencium rahang Edward. Nggak ada efek sama sekali, saat wanita berpakaian mini ini berusaha membangitkan Edward.
Alam sadar Edward mulai tak terkendali, "Oh Cessa!" Suara Edward saat ia membalas cumbuan pelacur ini dengan tak kalah panas.
Edward melepas pagutan dan kembali memesan alkohol dan menghabiskan seperti orang kesetanan. Jam hitam yang melingkar di tangan kokoh Edward menunjukan pukul tiga pagi, ia menepuk jidatnya. Lalu Edward mengambil jas hitam yang tergeletak di sofa, ia pergi setelah memberi beberapa lembaran uang pecahan seratus.
"Aw---shh," Edwarsd memegangi kepalanya yang terasa sakit sekali, dengan asal pencet, Edward menelfon seseorang. "Jemput saya di klub Arleta," tidak ada jawaban dari sebrang, "Apa kamu tuli atau budek? Saya minta jemput! Kepala saya sakit---" Edward memuntahkan isi perutnya, badannya panas.
Edward berjongkok dekat pintu mobilnya, pikirannya sudah melayang entah ke mana, "Oh my god!" Pekik Cessa yang nampak terkejut melihat Edward sudah terkapar. Cessa berlari ke satpam dan meminta bantuan untuk membopong tubuh Edward.
Untung Cessa tadi naik taksi, untung yang lainnya Cessa bisa kendarain mobil. Ini emang kesialan bagi Cessa, setelah Edward menciumnya secara paksa. Dan sekarang dia harus membantu Edward, tadi Edward menelfon, Cessa sendiri bingung, bagaimana bisa si Omes ini punya nomor ponselnya.
"Sakit kepala aku," gumam Edward, suaranya kayak anak kucing. Cessa hanya fokus menyetir, dia lupa. Ini si Omes mau dibawa ke mana? Rumahnya, Cessa nggak tahu. "Rumah Anda di mana Mr. Fernandez?" Cessa mengguncangkan bahu Edward.
"Ngrok... ngrok..."
APA? Ap--apa-apaan ini? Edward tidur sambil mendengkur? Gosh! Enak sekali dia, setelah bersenang-senang di klub, mabuk-mabukkan, sekarang tinggal mendengkur kayak sapi digorok.
Mau tidak mau, rela nggak rela. Cessa melajukan mobil sport Edward ke apartemennya, menyebalkan.
***
Cessa mengigit jarinya, gelisah. Dirinya tidak bisa terus jika Edward saja tadi langsung loncat ke kasur. Ini emang apartemen siapa, sih? Derap langkah Cessa menuju ranjangnya, dan... Bruk!!!
"Aw---" Edward memegangi kepalanya yang terbentur dinginnya ubin, tega nggak tega, Cessa ngantuk, dan kasur ini miliknya, salah jika ia merebutnya? Nggak.
Mata Cessa baru terpejam setelah sepuluh menit berlalu, dan kembali terusik saat merasakan napas hangat di sekitaran tengkuknya, bau alkohol sangat terasa. Tiba-tiba saja, lengan kokoh Edward memeluknya dari samping.
"Woy, Edward lepasin!" Edward justeru makin mengeratkan pelukannya, dan ia menelusupkan wajahnya ke ceruk leher Cessa, "Romy diem, aku mau tidur!" Suara Edward membuat Cessa kicep.
Jadilah, tidur Cessa malam ini sangat amat tidak nyaman, beruntung Edward sudah tidak mendengkur, bisa-bisa Cessa tidak tidur sama sekali.
Dalam tidurnya, Edward tersenyum puas. Dia berpura-pura bodo amatan. Padahal dia sendiri merutuki dirinya yang salah telfon ke nomor ponselnya Cessa, sungguh itu adalah kebodohan yang hakiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Boss and I
RomansaFrecessa Laurentine, melamar kerja di sebuah perusahaan bonavit, Fer's Corp. Karena sebelumnya dia dipecat dan uang tabungan yang mulai menipis. Di hari saat Cessa interview, dengan tidak sengaja Cessa menabrak dan menumpahkan kopi hitam panas ke ke...