"Bagaimana sekarang? Apa kepalamu masih ada yang terasa sakit? Kau yakin tidak ingin muntah?"
Cessa menggeleng, "Rom, aku tidak sakit, ini hanya benturan kecil saja. Tidak perlu berlebihan!" Cessa berkata sambil mengambil ponselnya.
Banyak notif telfon dari ibunya yang tidak terjawab. Dan satu terjawab. Cessa mengerenyit, pasti tadi ada yang mengkutak-katik ponselnya.
"Tadi Edward yang mengangkat dan mereka berbincang sedikit," ujar Romy sambil merapikan buah di keranjang. "Ibumu hanya bilang, kau cepat sembuh dan cepat kirim uang. Maaf, Edward tadi lancang sudah membuka ponsel mu."
Cessa tersenyum kaku, tidak enak.
Lalu pintu terbuka, menampakkan Carly dengan pawangnya, Nelson. Carly tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.
"Dia temanku yang jatuh dari tangga, yah. Dia kasian, deh tinggal di Jakarta seorang diri. Dan dia hanya karyawan biasa di kantor Edward." Kata Carly dengan senyum yang terus mengembang.
"Mengenalkan Fre, tidak perlu sedetail itu, Car!" Romy menatap tajam Carly yang langsung bersembunyi di balik bahu Nelson.
"Oh, dia teman mu?" Nelson berjalan mendekati Cessa yang sudah duduk di ranjang. "Maafkan atas tingkah Carly, kau tidak perlu menuntutnya. Aku akan membayar seluruh biayanya,"
"Tidak perlu, Tuan. Sudah ada yang membayarkannya. Kau tidak perlu repot-repot datang ke mari hanya untuk bilang begini," Romy menyahuti.
Carly jengkel, "Romy! Ayahku sedang berbicara dengan Fre! Bukan dengan mu!"
Cessa tersenyum hangat, "Aku sudah memaafkan, sebelum kalian meminta maaf. Aku baik-baik saja dan tenang saja, aku tidak ada niatan untuk menuntut."
"Baiklah, ternyata mudah sekali berurusan dengan mu. Kalau begitu, aku pergi. Masih ada yang perlu diurus." Nelson keluar dan tinggal mereka bertiga.
"Tolong, jauhi Edward. Dia sudah bertunangan dengan ku. Ya! Aku tau pernikahan akan diundur, tapi kau harus menjauh! Atau..." Carly mengeluarkan pistol dari tas jinjingnya, "Aku bunuh kau saat ini juga!" Ancamnya. Carly sudah mengarahkan pistol, tepat di pelipis Cessa.
Cessa menatap takut ke pistol yang menempel di kepalanya. Lalu ia melirik Romy yang malah bersedekap.
"Kau tidak perlu takut. Aku tidak suka dengan Edward," Cessa berkata dengan setenang yang ia bisa.
"Bagus! Kau bisa keluar dari kantor Edward, aku sama sekali tidak suka jika kau masih berkeliaran di hidup Edward." Carly menurunkan pistolnya.
Cessa hanya menatap dengan wajah datar. "Apa kau senang?" Carly mengangguk, "Sangat senang! Kau orang terbaik yang pernah aku temui! Amora saja tidak sebaik dirimu." Carly melirik Romy yang hanya manggut-manggut.
"Tapi Amora punya hati yang tulus." Romy menaikan sebelah alisnya. "Jangan membicarakan orang yang sudah mati!" Sahut Carly.
Romy bertepuk tangan dan berdiri di samping Carly, "Wah! Hebat! Kau belajar akting di mana? Kau mendorongnya hingga kepalanya diperban, lalu kau minta maaf, itu saja lewat ayahmu! Dan kau mengancam akan membunuh?" Romy mendekatkan wajahnya ke wajah Carly.
"Dia pantas! Dia jalang! Dia tidak tau siapa dia! Dia tidak sadar akan posisinya!" Ujar Carly di depan wajah Romy.
"Lalu apa bedanya dengan kau? Kau mau aku membuka kartu As?" Romy menjauhkan wajahnya. Carly menggeleng dengan kuat, "Aku pastikan, setelah ini Rena hanya tinggal nama!" Lalu Carly keluar dengan wajah masam.
"Di--dia mau membunuh Rena?"
Romy tersenyum, "Dia tidak akan berani, dia bukan lawanku dalam hal begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Boss and I
RomansaFrecessa Laurentine, melamar kerja di sebuah perusahaan bonavit, Fer's Corp. Karena sebelumnya dia dipecat dan uang tabungan yang mulai menipis. Di hari saat Cessa interview, dengan tidak sengaja Cessa menabrak dan menumpahkan kopi hitam panas ke ke...