BAB 61: Don't be Sad

61K 4K 227
                                    

Sudah banyak tissue yang Carly habiskan, ia masuk ke dalam rumah duka dengan lesu. Di luar sana, tidak ada karangan bunga berduka cita, bahkan satu pun tidak ada. Carly sedih sekali melihatnya. Yang menengok ke rumah duka juga masih bisa dihitung dengan jari.

"Halo? Iya, Rena nanti Papa pulang belikan kamu mainan truk sampah, sabar ya, kamu sama Mama saja di rumah. Oke, Sayang?"

"Iya! Awas ya kalau tidak dibelikan, Rena mau marah saja! Nanti Mamanya aku nangisin!" Sahut Rena dari sebrang. Terdengar suara tawa July yang disusul suara tawa Rena.

Tanpa sadar, Romy menarik ujung bibirnya ke atas, "Iya Sayang, Papa titip Mama ya, jangan sampai lecet Mamanya, nanti Papa gigit," kata Romy menahan tawanya. Baru kali ini, Romy berkata sebegitu menjijikannya.

"Siap Little Boss!"

Alis Romy mengerut, "Little... Boss? Big Boss-nya sia---?"

"Tentu saja aku," sela Edward seraya menyugar rambutnya, "Kenapa? Apa aku sangat tampan sampai kau menganga, ya?" Tanya Edward dengan percaya dirinya.

"Mimpi sana!" Romy mendorong bahu Edward pelan dan menjauh, karena Edward pasti akan merecoki teleponannya.

"Kenapa kamu di luar? Apa mayat Nelson sudah siap di kebumikan?" Tanya Cessa yang Edward angguki.

"Buat apa juga ditunda terlalu lama," ujar Edward. Mereka berdua masuk setelah meneriaki Romy, "Cepat masuk, pengantin baru gagal malam pertama!"

***

Cessa tersenyum sembari meletakan bunga krisan di atas makam Nelson, "Selamat tinggal, semoga Anda bisa diterima di sisi Tuhan."

Selesai prosesi pemakaman, Carly masih terduduk, tangannya masih mengusap nisan Nelson, "Aku masih tidak bisa hidup tanpa Ayah, kenapa Ayah tega? Apa Ayah pikir, aku bisa jaga diriku sendiri?" Carly menjedotkan keningnya ke nisan, tangannya memukul-mukul tanah.

"Aku sedih, saat Ayahku meninggal, semua orang tidak peduli, bahkan datang saja tidak mau," ucap Carly seraya mengelap air matanya. Tangan Cessa terulur mengelus punggungnya.

Edward menghela napasnya, "Setiap perbuatan itu pasti ada balasannya. Mau itu kebaikan atau keburukan, semuanya ada timpal baliknya."

Mata Carly menatap Cessa, lalu ia menepis tangan Cessa dari bahunya, "Kenapa kau selalu baik? Karena kebaikanmu, aku semakin merasa bersalah! Tolong, setidaknya kamu benci aku! Aku patut untuk kamu benci. Setelah apa yang aku lakukan." Carly kembali menangis.

"Hidup itu terlalu singkat, lebih baik kita berbuat baik, daripada memupuk rasa benci." Cessa tersenyum.

DongChao memberikan bunga di atas makam Nelson, dia datang bersama Dawin yang wajahnya menunjukan raut kekesalan.

"Selamat jalan Nelson, semoga Tuhan memberimu ruang di sisi-Nya." DongChao menyenggol sikut Dawin. "Ya. Samakan doaku dengan mertuaku," ucap Dawin.

"Terima kasih, kalian sudah mau datang. Maafkan atas kesalahan yang pernah Ayahku lakukan, aku benar-benar minta maaf," ucap Carly.

Dawin langsung pergi, tidak dengan DongChao, "Saya tau, kamu wanita baik, manfaatkan waktu selagi kamu masih bisa perbaiki diri, sebelum maut menghampirimu. Dan... semoga kehamilanmu lancar hingga persalinan," kata DongChao seraya mengusap bahu Carly dan pergi.

"Hari ini, aku percaya, Tuhan itu sangat adil. Yang jahat, berakhir dengan menyedihkan, bukan?" Rachel tersenyum miring.

Cessa bangkit dari duduknya, "Hel, jangan berkata seperti itu, ini sedang berduka," peringat Cessa yang tidak diamini oleh Rachel.

"Sekarang. Jangan pernah kamu merasa jadi orang paling menyedihkan, karena masih banyak di luar sana yang lebih menyedihkan, tanpa kamu ketahui." Rachel berjalan mendekati Carly, "Aku tahu, kamu bisa melewati ini," ujar Rachel dan tersenyum.

Kepala Carly mendongak, dia menatap tak percaya pada Rachel. Langsung saja Carly memeluk Rachel, air mata kembali berjatuhan.

Bahkan, Cessa meneteskan air matanya, senyumnya juga mengembang. "Ini memang terlalu dramatis, tapi inilah hidup yang sebenarnya kita jalani." Cessa menatap Edward yang sedang memainkan ponselnya.

"Kamu harus rawat bayi ini. Jangan ancam Alex lagi, dia sering ketakutan saat aku dan Ben mengerjainya kalau kau ingin membunuh bayinya ini," ujar Rachel mengundang gelak tawa mereka.

***

Edward menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang tengah, lalu menyalakan televisi. Dan kembali mengecek pesan dari Dele yang sempat tertunda untuk dibaca.

Dele:
Siang Tuan, maaf menggangu. Kami sudah melihat semua nilai dengan nama Andin Laurentine, semua nilainya mencukupi untuk dapat beasiswa di Harvard. Bagaimana, apa Tuan ada pendapat? Atau tambahan lagi. Terima kasih.

Alis Edward menyatu, "Beasiswa? Siapa yang menyuruh Andin untuk ikut beasiswa?"

"Apa diterima? Ah, syukurlah!" Romy duduk di samping Edward.

"Kau yang mendaftarkannya?"

Romy mengangguk.

"Kenapa kau daftarkan? Aku berniat membayarkan, tidak untuk ikut beasiswa," ujar Edward dan langsung keluar, menuju apartemen Cessa.

***

Cessa langsung menutup pintu apartemennya. Edward menggedor-gedor dari luar. Tangan Edward masih terus mengetuk-ngetuk.

"Aku bukannya tidak mau Andin kuliah di sana karena beasiswa, aku maunya Andin aku bayar semua biayanya," ucap Edward pelan, dan menyandarkan kepalanya di pintu.

Di dalam sana, Cessa mengembuskan napasnya. Apa Edward tidak paham. Aku tidak mau dia membayarkan semuanya, itu karena aku dan dia tidak ada hubungan apapun. Dan... aku tidak mau Andin punya sifat manja lagi, Andin harus bisa berusaha dengan kepintaran otaknya.

Perlahan, Cessa membuka pintu apartemennya, tubuh Edward langsung terjatuh.

"Edward jangan bercanda. Aku sedang tidak ingin tertawa." Cessa berjongkok, dan mengguncang-guncangkan tubuh Edward.

"Edward? Ayolah, ini tidak lucu!" Cessa makin mengguncangkan tubuh Edward, tapi tidak ada pergerakan sama sekali.

"Kak, Kak Edward kenapa?" Tanya Andin yang baru pulang kerja.

"Aku tidak tahu," sahut Cessa.

Malika berlari mendekati tubuh Edward, kakinya menekan-nekan leher Edward, bermaksud ikut membangunkan Malika.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang!" Ucap Cessa yang kini matanya berkaca-kaca.

Aku memang sedang tidak ingin tertawa. Tapi tidak juga dengan menangis. Cessa mengusap air matanya yang jatuh.

***

WoW! Maaf membuat kalian menunggu:") dan terima kasih yang sabar menunggu dan selalu nyemangatin aku:")

Big Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang