1. Burden

46 1 0
                                    


Aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini.

Beban ini sangat berat. Terlalu berat dan aku menangguh sendirian selama berhari-hari bahkan masuk hitungan minggu. Mungkin juga bulan, aku tidak tahu. Satu per satu, tenaga yang kukerahkan untuk menopangnya runtuh. Hingga beban ini berada tepat di atas kepalaku menekanku bersama gravitasi.

Aku lelah, terkuras habis-habisan. Terkuras hingga prospek pulang ke apartemen dan beristirahat terdengar melelahkan. Karena pada akhirnya aku tetap sendirian, di bawah beban ini dan kelelahan.

Hingga terdengar suara memanggil namaku. Kesadaranku tersentak ke dunia nyata. Pertama aku melihat ia berdiri sambil memegang ganggang pintu di hadapanku. Kedua aku menyadari air yang mengalir di wajahku dan bajuku yang basah. Ketiga aku menyadari sekelilingku yamg berada di depan rumahnya. Keempat aku mendengar suara hujan rintik-rintik di belakangku dan angin yang dingin menusuk.

Tangannya menarikku masuk. Ia sempat menghilang setelah menyuruhku melepas sepatu. Kemudian sebuah handuk jatuh menutupi leherku. Aku terus memandangnya berjalan hingga berbelok masuk ke ruangan lain. Aku refleks mengikutinya.

Aku memandanginya memasak air dan meraih cangkir di lemari atas. Ternyata di sini adalah dapurnya. Ia menyuruhku mengeringkan badan dan duduk di ruang tamu. Aku menggumamkan mengiyakan. Saat berbalik, terlihat ruangan yang bermandikan cahaya televisi. Aku masuk dan duduk memandangi film yang terputar. Handuk mulai bergerak menyerap air di tubuhku.

Lampu tiba-tiba menyala menetralisir cahaya TV yang ternyata cukup menyakitkan mataku. Ia masuk sambil membawa 2 cangkir dan menyerahkan salah satunya padaku. Aku hanya mengangguk berterima kasih, menyerap kehangatan dan aroma teh. Ia berdiri di hadapanku, bersandar pada dinding, terpisahkan oleh meja. Perlahan kami menghirup teh dalam diam, tanpa percakapan.

Saat tehku tersisa setengah, ia meletakkan cangkir kosongnya dan ia mulai bertanya. Ada apa? Hanya itu dan aku mulai menceritakan semuanya. Beban yang kutangguh, masalah-masalahnya, kesendirian menghadapinya dan kelelahan ini. Suara hujan yang semakin deras menjadi musik yang tepat mengiringi ceritaku.

Sesekali ia bertanya, menggumamkan sesuatu, dan indikasi-indikasi lain ia mendengarkanku. Namun matanya yang terus menatapkulah yang tidak membiarkan aliran kata-kata ini terhenti. Setelah selesai, keheningan kembali meliputi. Aku menyadari banyak hal lagi tapi kenyataannya tetap sama. Aku lelah.

Langkah kaki terdengar hingga aku bisa melihat kakinya di antara kakiku. Sebuah kehangatan terasa di kedua pundakku. Mulai melingkari leher dan pundak. Aku mengangkat kepala saat terasa dorongan yang menjatuhkanku ke depan. Wajahku terperangkap dalam kehangatan dan kelembutan lain. Tanganku lunglai di atas kedua lututku. Belaian halus mulai meluruskan rambutku yang basah.

Ia mulai membisikkan kata-kata. Setiap tarikan nafas menggerakkan perut di depanku. Sedikit sulit bernafas di sini, tetapi sangat hangat. Aku memalingkan wajah ke salah satu sisi. Tangan kananku naik ke punggungnya menariknya mendekat. Tangan kiriku segera melingkari tulang pinggulnya dan menahannya tetap di sana. Tangannya terus bergerak halus di rambut dan punggungku. Ketegangan yang tidak kusadari mulai menghilang dalam kehangatan ini.

Beban itu masih ada tapi ia tak lagi menekanku ke bawah. Ia masih sebuah tanggung jawab yang harus kuselesaikan tapi ia tak lagi menghantuiku malam ini. Rasa lelah itu masih ada tapi kurasa istirahat malam ini akan berbeda dengan malam-malam yang lain.

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang