2. Door

27 2 0
                                    


Kupikir malam ini akhirnya aku bisa menghabiskan malam yang berkualitas (bersama buku dan musik dan sendiri) hingga akhirnya pintu itu diketuk lagi. Tiga kali. Dengan cara khasnya.

"Halo. Kamu tidak pernah keluar ya."

Dia masih bisa tersenyum padaku padahal aku sudah memasang ekspresi paling kesal yang kubisa.

"Untuk apa kau datang?"

"Beristirahat sambil menemani seseorang yang selalu sendirian."

"Aku tidak perlu ditemani dan beristirahatlah di rumah sendiri."

"Tapi rumahmu lebih dekat."

"Salah sendiri."

"Oh, ayolah."

"Pulanglah, daripada kamu harus kembali ke rumah pagi-pagi cuma untuk ganti baju lagi."

Aku mulai menutup pintu lagi. Semoga dengan ini dia langsung pulang. Tapi kakinya dengan cepat menahan pintuku. Sekarang aku bisa melihat wajahnya di celah pintu dengan senyum angkuhnya.

"Aku sudah membawanya."

"Kau sudah bersiap untuk menginap!?"

"Melihat pola beberapa hari terakhir, tentu saja."

"..."

"Kau sudah mau membiarkanku masuk?"

Tidak.

Tidak ada yang bisa mengganggu malam tenangku ini. Aku mendorong pintu sekuat tenaga.

"Sabunku sudah habis dipakai olehmu," suaraku tertahan terpengaruh oleh tenaga yang kukerahkan.

"Sudah dibeli."

Dia juga mendorong sisi lain pintu. Namun ia bisa menjawab dengan suara tenang dan sempat memasukkan plastik toko 24 jam yang dibawanya.

"Tidak ada sikat gigi baru."

"Sudah dibeli juga."

Dia menggoyang plastik yang sama.

"Tidak ada ruangan untuk tidur."

Aku mendorong semakin kuat. Tidak, aku tidak akan kalah. Tapi dia berhasil memdorong pintuku terbuka dengan mudah.

"Sofa ruang tamu seperti biasa. Kau sendiri tahu itu cukup bahkan untuk dua orang."

Dengan satu tangan di pintu dan tangan yang lain mengangkat plastiknya di depan dada, dia mengedipkan matanya. Senyuman angkuhnya masih tersinggung.

Aku tahu malam itu tidak terjadi apa-apa tetapi wajahku memerah mengingat kami sempat tidur bersandaran di sana. Terduduk tentunya, dasar mesum.

"Diam, Bodoh. Pekalah, aku sedang mengusirmu."

Aku meneriakkannya tanpa kusadari. Aku segera menyadari kesalahanku. Kukeluarkan kepalaku untuk memeriksa apakah ada tetangga yang terganggu. Untungnya tidak ada.

"Aku tahu dan aku tidak mau pulang."

Dan dia dengan santainya menjawab di atas kepalaku.

"Mengapa?"

Aku kembali meluruskan punggungku menatapnya. Tatapanku menantang dia untuk memberi jawaban yang bisa memuaskanku (tentu saja tidak ada karena malam ini aku akan sendirian bersama buku dan musik).

"Karena di sinilah rumahku."

Ia menjawabnya dengan tenang dan yakin. Ekspresi wajahnya serius. Hatiku sedikit bergetar mendengarnya. Ini pertama kalinya ada orang yang berkata begitu padaku.

"A-apa maksudmu? Kita bahkan tidak punya hubungan apa-apa."

Aku berakting tidak terpengaruh padahal jantungku sudah berdegup kencang dan resolusiku sudah mulai bergoyah. Ada titik-titik harapan yang menyala.

"Hoo, kamu ingin kita punya hubungan? Kupikir kita sahabat, tapi kalau kamu mau lebih aku siap lho."

Senyuman angkuh itu kembali. Semua yang kurasakan tadi langsung hancur berkeping-keping. Orang ini... Beraninya dia...

Aku dipermainkan. Aku begitu bodoh sampai bisa dipermainkan olehnya.

Aku tidak terima!

"Pulanglah bersama fantasimu, dasar goblok."

Kubanting pintu itu tepat di depan hidungnya dengan cepat tanpa ampun.

"Ah, tidak. Jangan begitu, aku bercanda. Hei!"

Akhirnya dia terus menggedor pintuku selama 15 menit dan aku terpaksa memasukkannya karena ada tetangga yang protes.

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang