38. Hope

3 0 0
                                    


"Lihatlah, permainan itu sepertinya sangat menyenangkan."

"Iya."

"Ayo kita main itu."

"Iya."

"Padahal kamu tidak tahan ketinggian, ya."

"I-. Eh, kamu bilang apa?"

"Hahaha. Idiot."

Aku berlari sebentar dari sisinya untuk maju lebih depan dan berbalik menghadapnya. Aku lurus menatap matanya dan bertanya dengan sungguh.

"Kak, ada di mana kamu? Siapa yang kamu lihat?"

"A-aku kan ada di sini, berbicara denganmu."

"Tidak!" Dengan tegas aku menjawabnya. Suaraku lebih tinggi dari yang kuinginkan.

"Kamu tidak ada di sini. Kamu tidak pernah ada di sisiku."

"Apa yang kamu bilang? Aku sela..."

"Diam." Kupotong kata-katanya.

"Pembohong. Kamu yang saat itu berkata akan kembali ke sisiku tapi kamu tidak pernah ada. Kamu masih memikirkannya kan?"

Jujur saja, aku tidak butuh jawabannya. Sikapnya selama beberapa waktu ini sudah cukup meyakinkanku. Ia juga tidak menyangkalnya. Aku berbalik, tidak ingin menatapnya lebih lama lagi.

"Aku tidak butuh boneka kosong di dekatku. Sekarang, dengarkan baik-baik. Akulah yang memutuskan hubungan ini, bukan kamu. Jika ada rumor yang mengatakan aku diputuskan orang, itu akan sangat mengganggu harga diriku."

"Eh?"

"Berterima kasihlah kamu pernah pacaran denganku. Kesempatan seperti ini tidak ada kedua kalinya. Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi!"

Aku terus menatap lurus pemandangan taman bermain di depanku. Namun pandangan ini tidak pernah fokus. Aku menatap mereka tapi tidak melihat sama sekali. Tiba-tiba aku mendengar suaranya lagi.

"Terima kasih. Aku berharap kita masih bisa berteman seperti dulu. Aku tidak akan pernah membencimu. Sampai berjumpa lagi."

Ia kemudian berjalan melewatiku begitu saja. Aku terus menatap punggungnya yang kemudian berlari menjauhiku. Ia tidak pernah berbalik sekalipun.

Betapa aku berharap ia berbalik sekali saja saat itu, jadi aku tahu aku pernah ada di hatinya.

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang