18. Ice Cream

6 2 0
                                    

"Hei," dia memanggilku sambil masuk ruang tamu. Ia baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya. Aku sendiri duduk selonjor di atas sofa sambil membaca.

"Ya?" Aku menjawab tanpa memutus bacaanku.

"Mau es krim."

"Hah?" Oke, dia berhasil memutus bacaanku.

"Es krim?" Aku bertanya balik sambil melihat ke arahnya.

"Es krim." Dia malah menjawab dengan nada dan tatapan yakin.

"Kamu sadar kan, kamu baru masuk apartemenku basah kuyub kena badai di luar?"

"Iya."

"Terus sekarang kamu minta es krim?"

"Tujuan utamaku ke sini memang mau makan es krim buatanmu. Kamu baru buat es krim hari ini, kan?"

Aku sebetulnya kaget dia bisa tahu tapi aku tetap memasang muka datar.

"Darimana kamu tahu aku membuat es krim hari ini?"

"Dari sumber terpercaya." Dia malah menjawab sambil bergaya diam dengan telunjuk di depan bibirnya dan mengedipkan matanya.

Aku tiba-tiba merasa tidak mau memberinya es krim.

"Tidak boleh," jawabku sambil membuka kembali bukuku.

"Heehh?" Ia mengomel dengan nada dipanjang-panjangkan.

"Mengapa tidak? Aku mauuu." Dia mulai merajuk dan mendekatiku dengan rambut basahnya. Airnya menetes di atas bukuku.

"Jauhkan rambut basahmu dari bukuku," ucapku sambil mengusirnya.

"Dan lagi, aku membuat es krim untuk dimakan pas cuaca panas. Sekarang lagi badai, tidak cocok."

"Tapi aku mauuu," dia lanjut memaksa dan tidak menjauh dariku. Aku berusaha melindungi bukuku dari air-air yang menetes.

"Sudah kubilang, tidak. Dan keringkan rambutmu!"

"Beri aku es krim dulu," ucapnya setelah sedikit menjauh dariku.

"Tidak."

"Ayolah, aku harus menjalankan misi makan es krimmu atau aku bisa gagal."

"Gagal saja. Memangnya siapa yang membuat misi bodoh seperti itu?"

"Aku," jawab dia dengan riang.

"Idiot."

"Aku mau es krim," dia kembali merajuk dengan nada kekanak-kanakannya lagi. Lebih parah lagi, dia kembali mendekatiku dan rambutnya masih basah!

"Menjauh dariku! Kamu bisa membasahi bukuku." Aku mendorongnya tapi dia sudah meletakkan salah satu tangannya di sandaran sofa dan satu lagi di sisiku. Yang perlu dia lakukan cuma mendekatkan kepalanya ke arahku.

"Es krim..."

"Menjauhlah." Aku mendorong sekuat tenaga di kedua bahunya tapi tidak berhasil. Air-air menetes di wajah dan bajuku.

"Es krim."

Aku mendecakkan lidahku sambil memalingkan wajahku dari wajahnya yang semakin dekat.

"Baiklah, baiklah. Ambil sendiri di freezer sana. Aku tidak peduli lagi kalau kamu sakit atau masuk angin nanti. Ambil sana."

"Yes," dia tersenyum senang di atasku sebelum pergi ke dapur. Aku menutup wajahku, merasa kalah dengan orang seperti dia. Badannya saja yang sudah dewasa tapi isinya seperti anak SD. Tidak adil mendekatkan wajah dengan eskpresi seperti itu. Terdengar suaranya dari dapur bertanya,

"Kamu mau satu?"

Aku terdiam sejenak.

"Yang rasa vanilla," jawabku pendek.

"Dan keringkan rambutmu!"

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang