22. Jump

5 0 0
                                    

Aku berlari bersamanya menaiki tangga. Kemudian kami keluar dari pintu menapaki atap yang terbuka lebar. Pemandangan sekitar kami adalah atap-atap bangunan lain dengan berbagai ketinggian disinari cahaya matahari yang panas.

Kami berdua berjalan mundur ke tengah atap sambil menyiapkan serangan bagi siapa saja yang keluar dari pintu itu. Tak lama kemudian, suara tembakan pun pecah memulai pertempuran lain. Tapi kami tinggal berdua, tidak ada benda untuk berlindung di baliknya. Kami pun terpojok di pinggir atap.

"Hey," ia tiba-tiba berbisik padaku. Aku hanya menggumam setengah hati sambil berjaga akan serangan selanjutnya. Mataku memerhatikan gerak-gerik musuh yang terus maju dengan perlahan.

"Maaf ya, kamu jadi dalam bahaya lagi." Ia berbisik dengan nafas tersenggal-senggal.

"Hah, bodoh. Simpan maafmu untuk kudengar nanti." Aku agak sulit berbicara dengan nafas yang berat.

"Kamu percaya kita bisa lolos?" Suaranya terdengar tidak percaya.

"Tentu saja. Tidak seperti dulu, kita sudah kuat. Dan lagi, kamu punya rencana, kan?" Aku balas menantangnya. Kutatap matanya sambil tersenyum penuh percaya diri.

"Ya." Ia menjawab dengan jelas dan tegas. Meski ekspresinya masih datar tapi kilat di matanya menunjukkan semua ini belum berakhir.

Ia kemudian berbalik, memanjat dinding satu meter itu dan melompat. Semua yang ada di atap itu kaget terutama aku. Aku segera melihat ke bawah dan menemukannya berguling di atap bangunan di seberang jalan. Setelah berdiri, ia menggerakkan kepalanya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya dengan angkuh.

Aku menyeringai dan memanjat dinding itu. Saat melihat ketinggian ini, rasa takut menjalar dari hatiku. Aku menelan ludah. Namun tidak ada waktu untuk takut. Musuh di belakangku sudah bersiap untuk menembak.

Kukumpulkan semua keberanian yang ada dan aku melompat tepat saat sebuah peluru mendesing di telingaku. Gravitasi menarikku turun dengan kuat menuju lalu lintas yang ramai. Namun tarikan tangannya menarikku melawan hukum alam itu. Aku tersungkur dalam pelukannya memikirkan momen hidup mati tadi.

"Kamu tidak bisa parkour? Latihanmu belum cukup," ucapnya tiba-tiba di atasku. Aku menghembuskan nafas kasar, merasa ironis. Aku serasa hampir mati dan itu kata-kata yang ia ucapkan.

"Bodoh," ucapku sambil memukul dadanya sekuat yang kubisa.

"Nanti kudengar omelanmu," ucapnya datar sebelum mengeratkan pelukannya dan berguling ke samping. Suara tembakan terdengar bertubi-tubi.

Ya, ini belum berakhir. Aku yang berada di bawahnya kali ini mengangkat senjataku dan balas menembak. Dua orang tersingkir, dan kami pun mulai melompat lagi menuju atap-atap selanjutnya meninggalkan musuh yang mengejar.

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang