"Mengapa kau menerima kerja di sana, Bodoh?"
Ia tiba-tiba berteriak padaku. Aku kaget. Emosiku langsung naik merasa disalahkan seperti itu. Aku yakin aku tidak salah apapun.
"Terserah aku dong. Ini pekerjaanku."
"Tapi kamu kan juga dapat lolos wawancara yang di kota ini juga. Tidak harus sampai keluar kota, dong."
"Memang iya. Tapi yang di sana prospeknya lebih bagus dan lebih cocok denganku."
"Setidaknya diskusikan denganku dulu."
"Ini pekerjaanku, masa depanku. Akulah yang harus memilihnya. Sekarang aku juga memberitahumu, kan? Mengapa kamu marah lagi?"
"Iya, itu masa depanmu. Tapi bagiku itu bukan cuma masa depanmu, ini masa depan kita!"
Aku terdiam mendengarnya. Kami berdua sudah saling berteriak. Tarikan nafas berat menggema dalam ruangan. Tanpa berpikir apapun, aku berkata,
"Masa depan kita? Memangnya kita menikah?"
Suara keras menggema di ruangan. Telingaku berdenging sejenak dan pipiku terasa sakit sekali. Aku langsung balas memukulnya juga. Namun tanganku berhenti tengah jalan. Apa yang kulihat menghentikanku.
Ia menatapku dengan mata penuh kemarahan. Air mata mengalir bebas di kedua pipinya.
"Aku," ia berkata dengan suara serak.
"Kita sudah bersama sejak kecil. Tetap bersama sampai sekarang itu sudah hebat sekali. Tapi aku tidak bisa membayangkan masa depanku tanpamu."
Suaranya tersendat-sendat karena tangisnya. Ia juga terlihat berusaha keras menghentikan air mata itu meski gagal. Namun aku hanya bisa menatapnya, mendengarkannya.
"Aku tidak bisa berpisah denganmu. Apakah selama ini hanya aku yang berpikiran seperti ini? Selama ini kamu tidak pernah merasa seperti itu?"
Matanya menatapku lurus. Air mata mengalir setetes dan kedua bola matanya merah. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku tahu jawaban pertanyaan itu tapi tidak ada suara yang keluar.
Aku hanya terdiam menatapnya.
Aku hanya terdiam saat ia berbalik.
Aku hanya terdiam saat dia keluar dari ruangan.
