Aku menyeka keringatku setelah selesai latihan. Kupakai kembali kemeja yang lepas tadi karena panas. Sambil minum air yang terletak di samping kemeja tadi, aku mencarinya yang sempat datang tadi.
Benar kata-katanya tadi, ia menungguku. Ia duduk tertidur di pojok ruangan. Pose tidurnya terlihat sangat tidak nyaman terutama lehernya. Aku menghela nafas kesal.
Aku tahu dia lelah. Tidak sepertiku yang cukup latihan sesekali, dia harus mempelajari semuanya dari nol. Kalau saja dia tidak bersamaku, kemampuan seperti ini tidak akan dibutuhkan di dunianya. Aku merasa bersalah setiap kali melihatnya terluka dan kelelahan akibat latihan-latihan ini.
Aku mendekatinya dan berlutut di sebelahnya. Kupanggil namanya. Karena tidak bangun, aku menggoyang bahunya. Ia lalu terbangun dan mengangkat kepalanya kemudian meringis kesakitan.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa. Cuma salah tidur."
"Memang salah. Tidur sana di kamarmu."
"Tapi kita ada kencan, kan? Aku ingin bersamamu malam ini."
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Dia juga terdiam. Kami saling bertatapan beberapa saat sebelum akhirnya ia berpaling dengan muka merah. Dia kemudian berdiri dan meringis kesakitan lagi.
"Aduh, punggungku. Semua badanku terasa kaku." Ia mengeluh lalu mulai merenggangkan tubuhnya.
"Kencannya batal," kataku sambil menghela nafas.
"Eh? Tapi..."
"Kembalilah ke kamarmu dan istirahat saja."
Dia menatapku dengan sedih. Keningnya mengerut dan mulutnya cemberut.
"Sejak keluar dari rumah sakit, kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama lagi. Aku sibuk latihan, kamu sibuk dengan hal-hal yang lain itu." Ia berkata dengan suara kecil. Aku meletakkan tanganku di atas kepala.
"Ya, aku tahu. Tapi kita tidak akan keluar. Malam ini rumah saja ya."
Ia terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk.
Satu jam setelah kami mulai berbincang setelah aku mandi, ia tertidur lagi sambil duduk. Kali ini ia bersandar di bahuku. Dalam hati, aku meminta maaf padanya sudah menariknya ke dunia ini.
