20. Trust

9 0 0
                                    

Sejak pertengkaran itu, satu malam sudah berlalu. Aku tidak tidur, menghabiskan semua waktu berpikir. Berpikir tentang pekerjaan ini, berpikir tentang kata-katanya, berpikir tentang perasaannya dan perasaanku.

Saat fajar telah menyingsing, aku mengambil keputusanku. Sekarang aku harus memberitahunya lagi. Aku segera keluar dan menuju kamar tempat tinggalnya.

Satu jam berikutnya, aku di dalam kamarnya. Berbagai macam keraguan terus menerus menyesak dadaku. Aku tidak tahu harus memulai darimana. Kami terdiam agak lama hingga akhirnya aku berbicara terlebih dahulu.

"Aku tahu perasaanmu. Aku juga tahu kau tahu perasaanku. Kupikir kita saling mengerti karena kita sudah saling mengenal lama sekali. Jadi saat kamu menolak keputusanku kemarin, aku sangat marah.

"Kemarin kau bertanya, apakah aku tidak pernah berpikir bagaimana hidupku tanpamu. Ya, aku pernah bahkan sering memikirkannya. Jujur saja, semua itu mengerikan. Aku takut kehidupan yang tanpa kamu, aku takut seberapa lemahnya aku tanpamu. Betapa tidak bergunanya aku tanpa kamu di sisiku."

Aku tersenyum kecut dan memandangnya. Tidak ada perubahan di ekspresinya dan dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bicara.

"Karena itu, aku memilih pekerjaan ini. Agar aku bisa menguatkan diriku lagi. Agar aku tetap bisa menjadi orang yang kausukai itu."

Aku mencoba tersenyum padanya. Bahkan sekarang aku merasa adalah orang yang paling lemah di dunia.

"Tapi," ia berkata lirih.

"Bagaimanapun kamu, perasaanku tidak akan berubah."

"Ya, aku tahu. Tapi aku ingin menjadi orang yang pantas bersanding denganmu."

Kepalanya semakin menunduk. Tangannya mengepal semakin erat.

"Lalu hubungan kita..."

"Hubungan kita tidak berakhir di sini," aku menyelanya. Ia mengangkat kepalanya dan menatapku. Matanya merah dan bengkak. Hatiku sakit, kupaksakan diriku untuk melanjutkan kata-kataku.

"Hubungan ini bukan sesuatu yang biasa. Kita sudah membangunnya bersama sejak kecil, ia tidak akan putus cuma karena hal seperti ini. Aku percaya pada hubungan di antara kita. Aku percaya padamu. Karena itu percayalah, aku akan kembali padamu."

"Kamu tetap pergi ke sana?"

"Ya."

"Apapun yang kulakukan kamu tetap ke sana?"

"Ya."

Air matanya mengalir lagi. Tangannya sibuk menyeka. Aku berpindah dari hadapannya dan duduk di sebelah. Aku memeluknya. Apakah selama ini ia sekecil ini?

"Jahat. Kamu tahu aku tidak bisa hidup tanpamu tapi kamu tetap meninggalkanku. Kamu suruh aku hidup bagaimana lagi?"

"Maaf."

"Kamu tahu aku tidak suka kamu mengambil keputusan sendiri tapi kamu malah melakukannya lagi."

"Maaf, ini yang terakhir kali. Aku tidak akan mengulanginya lagi."

Aku mempererat pelukanku. Kukecup ringan ubun-ubunnya. Baju di dadaku terasa basah. Ia terus lanjut mengomeliku dan aku terus meminta maaf. Atas keegoisanku. Untuk segalanya.

Namun kami berdua tahu ia sudah menerima keputusanku ini. Aku yakin karena aku sudah lama mengenalnya. Karena itu, aku berjanji padanya,

"Percayalah. Aku akan kembali padamu."

Aku dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang