Tidak seperti sebelumnya, aku berjalan mendekatinya dengan langkah yang berisik. Ia buru-buru menyeka air matanya dan berbalik ke arahku. Wajahnya terlihat tegang sejenak dan langsung berubah rileks melihat aku yang datang.
"Ah, kamu ya."
"Sedang apa?"
"Bukan apa-apa," suaranya tiba-tiba pecah di akhir kalimat. Wajahnya segera berubah menahan tangis yang mendesak keluar. Sejenak ia menunduk dengan bahu bergetar hingga akhirnya ia menghembuskan nagas dengan keras.
Saat ia mengangkat wajahnya, ia berusaha tersenyum. Ia berusaha tersenyum dengan wajah yang jelas-jelas masih menderita dan mata yang berlinang air mata.
"Mengapa kau tersenyum!?" Tanpa sadar, aku berkata ketus.
"Kalau menangis itu, menangis saja. Untuk apa kau tersenyum? Jelek tahu!"
"Je-jelek?"
"Ya, jelek," aku berbicara sambil berjalan mendekatinya.
"Wajah terjelek yang pernah kulihat. Saking jeleknya, aku tidak ingin melihatnya lagi seumur hidupku."
Aku berdiri di depannya. Aku memeluknya dengan erat dan berbisik di telinganya.
"Kamu tidak perlu pura-pura tegar di depanku, bodoh."
Beberapa saat kemudian, aku merasakan tangannya naik membalas pelukanku dengan erat. Malam ini di tempat ini, hanya ada aku, dia, dan air mata sebanyak bintang di langit.
