Suara bola basket yang memantul pada lantai sore itu sudah menjadi hal biasa untuk Rio dengar.
Sudah tiga hari ini laki- laki yang sekarang duduk di pinggir lapangan itu masih setia untuk menunggui sahabatnya bermain basket sampai laki- laki itu terjatuh dan tidak bisa untuk bermain lagi.Sudah berpuluh- puluh kali ia memasukkan bola ke dalam ring, dan kadang bila bola itu meleset ia akan mengumpat kemudian membanjiri ring itu dengan tembakan bola yang bertubi- tubi.
Rio melihat jam di pergelangan tangannya, ia mendesah panjang, hantinya merasa sedih dan juga khawatir dalam waktu yang bersamaan. Tadi setelah sekolahan bubar, lebih tepatnya pada pukul empat sore, ia sudah memposisikan diri duduk manis di pinggir lapangan untuk melihat Dafa bermain basket seorang diri.
Keringat mulai membanjiri tubuh Dafa saat laki- laki itu melakukan tembakan three point untuk yang kesekian kalinya. Rambutnya basah, wajahnya terlihat lelah namun tangannya terus saja mendribel bola basket itu seakan bola itu tidak bisa terlepas dari gengaman tangan Dafa barang satu detik pun.
"Woy babi mau sampai kapan lo kayak gini?"
"Lo cuma nyakitin diri lo sendiri kalau lo kayak gini!"
Ritme permainan Dafa semakin memuncak, gerakan kakinya gesit seirama dengan bola yang terus ia dribel hingga mendekati ring.
BRAK!
Bola meleset mengenai papan ring hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Shitttt!" Dafa mengumpat keras. Laki- laki itu membungkuk dengan tangan yang ia jadikan tumpu pada lututnya. Keringat yang sejak tadi membanjiri wajahnya kini menetes hingga membasai lantai.
"Semua yang lo lakuin ini gak guna Daf. Mau lo perjuangin dia sampai mati- matian kalau dia gak tau perasaan lo yang sebenarnya dia gak bakal ngerespon lo. Lo tahu kan dia bakal ngerespon lo balik kalau dia tahu gimana perasaan lo ke dia. Memangnya dia dukun kalimantan yang bisa ngebaca kata hati orang? Dia itu cuma manusia biasa Daf, dia gak bakalan tahu perasaan lo kalau lo gak ngomong jujur ke dia!"
Tubuh Dafa ambruk bersamaan dengan Rio yang baru saja menyelesaikan ucapannya.
Dafa terlentang pada lantai dengan mata yang terpejam. Nafasnya masih menderu seirama dengan dadanya yang naik turun.
"Kenapa lo jahat sama gue Dafi!"
Satu kalimat itu lolos dari bibir Dafa bersamaan dengan air matanya yang mulai lolos dari ujung matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Say [END]
Short Story[BOOK TWO] BOYFRIEND GOALS SERIES: Can't Say "Andai hidup itu semudah bacotannya Rio, sudah pasti sekarang gue bisa tertawa bahagia bareng lo Ta!" "Karena diam itu bukan berarti tidak berjuang." Copy Right 2017 Hujansoreini ❌DILARANG KERAS MENCOPY C...