Siang itu Tita bersama dengan Renina sedang duduk di pohon jambu. Dua remaja itu sudah menghabiskan satu es krim dengan mata yang masih tertuju pada sekumpulan laki- laki yang sedang baermain basket di lapangan tengah.
"Gilak Ta, Dafi keren banget masa!"
"Kerenan juga Dafa coy. Ugh lihat keringatnya Na, pengen gue jilat rasanya!"
Renina mengeryit jijik, "Lebay. Sekalian noh urinnya Dafi lo minum Ta!"
"Eh ngomong- ngomong urinnya cowok ganteng kayak Dafi gitu warnanya apa ya Na?"
"Bisa jadi kayak emas yang lagi leleh Ta!"
Tita tertawa, tangannya membekap mulutnya, matanya menyipit, "Lo kira Dafi manusia jadi-jadian? Segala pake leleh kayak emas!"
"Eh kalau sekarang lo suka sama Dafi, Yanz lo kemanain?"
"Cuih. Gak lavel gue mah sama cowok yang kerjaannya selfi, genjot sana genjot sini, tikung sana- tikung sini. Lama- lama jadi pengen gue bacok itu lehernya Yanz. Nyesel gue pernah suka sama dia!"
"Bukannya kemarin lo jadian?"
"Jadian? Hahaha kapan ya kok gue gak inget?" Tita mencoba nyinyir, mengelak tuduhan Reina.
"Kalau gue mah mending milih jomblo daripada punya cowok kayak Yanz gitu."
"Mending jomblo karena Dafa juga jomblo. Ah Dafa. Kamu itu tamfan sekali nak!" Lanjut Reina sambil meraup wajahnya memandang kagum Dafa yang sedang mendribel bola basket.
"Dafa sama Dafi itu emang kembar. Tapi gak tau kenapa gue lebih suka Dafi. Dafa itu terlalu cuek. Iya gak sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Say [END]
Short Story[BOOK TWO] BOYFRIEND GOALS SERIES: Can't Say "Andai hidup itu semudah bacotannya Rio, sudah pasti sekarang gue bisa tertawa bahagia bareng lo Ta!" "Karena diam itu bukan berarti tidak berjuang." Copy Right 2017 Hujansoreini ❌DILARANG KERAS MENCOPY C...