ADHIT'S POV
Setelah aku tau semua yang terjadi sebenarnya, hanya penyesalan yang sedari tadi mengusikku. Aku merasa telah gagal menjadi suami untuk nana, aku telah gagal menjadi kakak dari nana bahkan gagal menjadi sahabat dan teman bagi nana.
Sebegitu khawatirnya aku kepada shiren, hingga aku lupa kepada tugas utamuku yaitu menjaga nana. Perlu kalian tau, walau aku dan nana tidak saling mencintai, tapi kami saling menyayangi, aku menyayanginya sebagai kakak dan sahabat. Aku menganggapnya sebagai adikku. Sejak dulu aku berjanji untuk melindungi nana. Bahkan ketika ia sakit, aku lah yang menjadi dokter dadakan untuknya. Ketika ia malas belajar, aku lah yang menjadi guru dadakan juga untuknya. Tapi apa yang terjadi hari ini ? Bahkan aku tak menyadari apa pun yang telah terjadi pada nana.
Kalian pasti berfikir betapa kasarnya aku kepada nana ketika marah. Ya, aku terima semua yang kalian pikirkan terhadapku. Aku memang kasar ketika sedang marah. Aku tidak memikirkan lagi apa apa bila sedang marah. Bahkan aku tak segan apabila harus menyakiti nana. Karena itu semua aku lakukan hanya untuk membuat nana tersadar dan tidak lagi ceroboh. Kalian tau bukan, dia memang keras kepala. Dia tidak akan menurut jika tidak dipaksa.
Seperti malam ini, aku terpaksa berlaku kasar kepadanya hanya untuk meminta agar dia menceritakan semua yang terjadi kepadanya.
Namun sekarang keadaan sudah kembali kondusif, ku obati bekas luka tampar di pipi iren dengan mengompresnya.
"Aw"
"Maaf maaf, loe jangan bergerak na"
"Pelan pelan gas..." ringis nana sembari menuntun tanganku agar mengopresnya dengan lembut.
"Iya ini udah pelan pelan"
Setelah kurang lebih 15 menit aku mengompres pipi nana, aku mengajak nana ke balkon. Menikmati angin malam dan melupakan semua yang terjadi. Nana dan aku duduk disofa yang nana simpan di balkonnya. Aku jadi terkikik, mengingat kebiasaan kami yang selalu sama.
Sudah setengah jam aku duduk disini bersama nana. Tapi tak ada yang memulai percakapan. Biasanya nana selalu cerewet dan kadang ia berbicara tanpa titik koma. Namun sekarang, bahkan ia tak berani menatapku.
"Na, loe kok diem aja si" ucapku tanpa menoleh ke arah nana yang ada disebelahku.
Meskipun aku memandang kedepan, namun aku tau nana melirikku sebentar dan kembali memundukkan kepalanya.
"Anjir na, kok susah amat ngomong dikit juga" aku melirik nana dan menyentil dagunya.
Biasanya nana akan menepis tanganku, tapi sekarang ia hanya tersenyum dan lucunya, ketika ia sadar bahwa aku menatapnya, ia malah memalingkan wajahnya.
"Apa gue harus cium loe lagi biar loe jawab"
Mendengar perkataanku tadi sepertinya membuat nana kaget, hingga ia mendongakkan kepalanya. Aku membalasnya dengan manaikkan alisku menunggu apa yang selanjutnya ia katakan. Tapi nana malah kembali menundukkan kepalanya, aku sempat melihat wajahnya memerah seperti udang rebus.
Sengaja ku angkat wajahnya agar aku bisa melihat wajah merahnya. Namun ia malah menepis tanganku dan menyembunyikan wajahnya dibelakang lenganku. Aku memang tau bahwa nana akan bersikap seperti ini jika ia sedang malu. Jangan tanya ia malu kenapa, semua yang kulakukan padanya di kamar tadi memang membuatnya sangat malu. Tapi aku suka dengan wajahnya yang memerah.
"Haha, na jangan malu gitu dong" kataku membujuknya untuk menunjukan wajahnya. Nana hanya menggelengkan kepalanya.
Dengan senyum jahil, sengaja aku bisikan sesuatu ditelinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADHIT DAN IREN
RomanceNasib gue harus ngurusin cewek bar bar kaya loe. Menderita hidup gue -adhitya bagasardi Dari sekian banyak cowok di dunia, kenapa harus loe sih yang ada di hidup gue -irena irwanda Adhitya Bagasardi dan Irena Irwanda. Dua remaja yang harus menelan k...