Part 12

4.1K 218 1
                                    

Aku duduk dibagian tengah ketika dimobil. Aku mengatakan untuk mengantarkan semua dan aku yang terakhir karena aku ingin berbicara pada Gerald. Setelah mengantar semua dan mobilnya sampai diperkarangan rumahku, aku menatapnya sebentar. Cowok ini. Ia pernah menyatakan cintanya dengan begitu romantis. Tak peduli seberapa kali aku mengacuhkannya. Awalnya aku sudah berniat untuk melupakan Nanda dengan bantuannya. Tapi, dengan perlakuannya tadi. Aku memutuskan, ia benar-benar tak bisa menjadi pengganti sosok malaikatku.

"Ger, terimakasih untuk semuanya. Jangan pernah berkata kalau lo mencintai gua lagi. Jangan pernah berkata kalau lo rindu gua seperti kemarin-kemarin. Cari orang yang seperti dipikiranlo. Cari orang yang hanya memikirkan lo. Cari orang yang butuh dengan semua materi lo. Gua harap lo bahagia setelah ini. Jadi, kita akhiri sampai disini." Aku mengambil tas belanja ku dan kemudian turun dari mobilnya. Menutup pelan pintunya kemudian tersenyum melalui jendelanya. Ia masih mematung didalam sana. Sedangkan aku langsung masuk. Langit sudah berubah menjadi oranye. Berpadu dengan langit dan menghantarkan matahari untuk bersembunyi sejenak.

"Kak Rin!" Adikku menyambutku didepan. Ia susah rapi setelah mandi sore. Aku mengeluarkan bungkusan kuning dengan tulisan offle. Pesanan khusus miliknya.

"Ibu masak?" Aku menemui Ibuku didapur. Sepertinya ia sibuk sekali memasak makan malam. Mungkin siang tadi ia hanya menyiapkan bahannya.

"Iya, Ibu masak banyak." Ucapnya sambil tangannya terus bergerak kesana-kemari.

"Aku ajak Nanda makan dirumah ya?" Ibu menatapku sambil tersenyum lalu mengangguk.

Aku segera berlari kekamar, menemukan nomornya dibagian kontak kedua paling atas setelah ibuku. Aku kemudian menekan nomornya dan telepon tersambung

"Halo?" Ia mengangkat teleponnya.

"Sibuk?" Tanyaku.

"Engga. Ada apa?"

"Kerumah ya?"

"Ngapain? Ada acara?"

"Engga ada, tapi ibu undang kerumah makan malam."

"Jam berapa?"

"Jam 6 aja gimana?"

"Engga kecepatan?"

"Kamu imam-in kami semua sholat."

"Ayah?"

"Ayah.."

"Ohya, maaf aku engga tau." Suaranya berubah sendu.

"Yaudah nanti kerumah ya."

"Iya."

Ia memutus sambungan teleponnya. Aku pikir ia takkan menerima panggilan telepon dariku. Setelah apa yang aku lakukan padanya beberapa minggu belakangan. Ia setia. Tak pernah pergi. Begitu juga aku. Pernah mencoba pergi. Tapi hasilnya nihil. Dirinya tetap pemenang hatiku.

••••

Ia datang lima menit sebelum jam enam. Aku tau betul Nanda tak pernah telat dalam janjinya. Apalagi padaku. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru. Dengan jeans hitam dan tas kecil yang disampirkan dipundaknya. Sekarang ia sedang duduk mendengarkan adikku bercerita sedangkan aku dan ibuku sedang sibuk didapur. Rumah kami jarang kedatangan tamu. Maka ibu bilang, ketika datang tamu kita harus menjamunya dengan benar. Aku melihatnya dari ruang makan, sesekali ia tertawa kecil mendengar celotehan adikku. Yang lebih jelasnya, ia tak pernah menunjukkan bahwa ia bosan. Ia bisa akrab dengan keluargaku. Ibuku keluar dari ruang makan. Nanda berdiri kemudian menyalam tangan ibuku.

"Aduh, Nanda udah lama engga kesini?" Ibuku kemudian meletakkan segelas teh hangat diatas meja.

"Iya, Bu. Lagi sibuk juga akhir-akhir ini. Ambil job." Nanda tersenyum kemudian menatapku yang berdiri didekat ruang makan.

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang