Awal tahun seperti ini biasanya membuatku lebih ingin merasakan hal-hal yang lebih menyenangkan dibanding memikirkan kesedihan. Tapi tadi pagi, ketika akan pergi ke sekolah aku menatap sebuah paper bag masih setia menunggu diatas meja belajarnya. Isinya sebuah hoodie berwarna hitam. Nanda suka pakai hoodie. Maka aku membelikannya satu berwarna hitam polos dengan tali putih.
Aku menentengnya dengan ringan. Seperti aku dengan Nanda tak punya masalah apapun. Seperti diantara aku dan Nanda tidak terjadi apapun. Maka hari ini aku memutuskan untuk memberikannya hadiah yang sudah lama kubeli.
Aku tersenyum mengingat kejadian dimana hoodie itu terpajang dipatung. Aku dan Nanda melewati toko itu namun Nanda mundur beberapa langkah. Kemudian terpana dengan model hoodie yang kupikir akan sangat pas jika Nanda yang pakai.
"Aku pengen nyoba. Yuk." Ia menarikku kedalam toko itu. Salah toko ternama ditengah mall yang besar ini.
Ia mengambil ukuran M. Tubuh Nanda tidak terlalu besar. Kuat tapi buakn berarti berotot. Lebih tinggi dariku tapi tidak menjulang. Ia pas untuk seorang laki-laki. Tas kamera juga selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Bahkan sekalipun ia harus meninggalkannya ia akan menitipkannya pada orang yang terpercaya. Nanda bilang, ketika kita punya suatu barang yang menjadi hobi tersendiri, kita akan merasakan bahwa barang itu punya nyawa. Berbeda dengan ketika kita memegang milik orang lain.
"Sama seperti gitarmu, aku menyayangi kameraku layaknya kamu menyayangi gitarmu. Karena ketika aku memegang kamera ini, aku merasakan ia punya nyawa." Tuturnya.
Ia berkaca didepan cermin besar. Banyak perempuan lewat menatap dirinya yang begitu pas mengenakan hoodie itu. Ia berbalik ke arahku. Kemudian mengangkat alisnya, menatapku seperti meminta pendapat.
Aku mengangguk lalu tersenyum. "Cocok banget." Aku merapikan bagian kerahnya agar ia bisa melihatnya lebih rapi.
"Nanti jagain aku kesini lagi. Aku pengen beli ini. Oke?" Ia mencolek hidungku kemudian melepas hoodie yang ia coba.
Ketika kami sedang makan aku sengaja bilang ingin kekamar mandi. Padahal aku membeli hoodie yang ia inginkan. Ketika ditanya aku membeli apa, aku hanya menjawab bahwa aku membeli sepotong baju untuk sepupuku. Harga hoodie yang ditawarkan tidaklah mahal. Uangku masih mencukupi. Karena aku telah diterima disalah satu majalah utama untuk menjadi penulis tetap.
"Kita mau shooting. Nunggu siapa sih?" Tanya Aurel, ia mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.
"Tunggu aja deh."
Sosok Nanda keluar dari pintu lobi menuju kantin. Aku mendatanginya dengan senyuman yang ia bilang selalu membuatnya merindukanku. Aku mengangkat paper bag khas toko yang kemarin kami datangi. Ia mengintip sedikit kedalamnya kemusian tersenyum.
"Makasih ya." Hanya itu yang ia ucapkan.
Aku hanya mengangguk kemudian menunduk. Izin pamit bahwa aku harus melakukan sesuatu. Nanda mengangguk kemudian berkata pelan yang masih bisa kudengar.
"Semangatlah shooting-nya." Ucapnya pelan.
Kau tahu hal baru yang aku temukan?
Ia begitu biasa,
seperti tak ada yang terjadi.
Maka aku bersikap bagaimana ia bersikap walaupun hati tak sanggup.
Yang paling kusadari adalah aku memang tak bisa menahan rasa cintaku untuknya.
Rasanya ingin menghambur ke pelukannya seperti yang biasa kulakukan.
Tapi,
Aku menyadari lagi.
Ia sunggu tak apa-apa tanpaku.
Sedangkan aku?
Masih mencari celah untuk keluar dari semua ini.•••
Duh, sebenernya masih saling cintakan? Jujur deh sama author. Atau cuma salah satu aja yang mencintai? Yah:( balik lagi dong Nan, Key.
Ehiya,
Aku lagi usahain untuk terus mempercepat update.Jadi vote dan komen juga jangan lupa supaya aku semangat nih.
Gomawo🙏💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Time
RomantiekTenanglah.. Ini hanya soal waktu yang harus tetap kau ikuti arusnya. Siapa yang tahu kapan hati bisa menerima orang baru. Siapa yang tahu kapan hati bisa sembuh dari luka saat ia patah begitu sendu. Terkadang hati hanya takut menerima cinta baru ha...