Part 14

3.8K 171 4
                                    

Herannya, kau selalu melakukannya. Padahal, kau tau itu salah. Seperti ada kekuatan jahat disana.

•••

Aku menyisir rambutku kemudian mengikat bandana biru dikepalaku. Kemudian kembali tersenyum di depan cermin. Hari in, Dhira dan Zahra mengajakku jalan-jalan. Katanya aku jarang bermain bersama mereka semenjak aku mengakhiru hubungan dengan Gerald. Kami berjanji bertemu disalah satu mall di bilangan kota. Aku segera berpamitan dengan ibu.

"Bu, pulangnya agak sorean ya. Kan naik angkot." Aku menatap ibuku yang bertengger didepan pintu sambil memakai sepatu.

"Yaudah hati-hati ya." Aku mengangguk kemudian berlari dan melambaikan tangan untuk memanggil angkot yang lewat.

Sampai di mall, aku mencari-cari mereka ke dalam. Katanya mereka ada didekat air mancur, maka aku kemudian mencari mereka disana. Setelah menunggu beberapa saat aku terus mengirim chat pada Zahra. Untuk memastikan mereka ada dimana.

"Dorrrr!!!" Aku terkejut setengah mati ketika Dhira dan Zahra muncul dari belakang.

"Bangke lo berdua." Aku tertawa kecil. Kemudian melanjutkan berjalan bersama mereka.

Kami memutuskan masuk kedalam salah satu toko fashion yang lumayan besar. Masih ada banyak diskon disini rupanya. Kami mengelilingi toko itu. Kemudian menemukan sederetan kaos-kaos lucu.

"Rin, mau." Dhira menatapku dengan mata yang memelas. Aku tertawa. Kemudian berputar kesatu sisi.

Aku mengecek dompetku. Hanya tersisa enam ratus ribu didalam dompetku ini. Aku melihat harganya. Memang tidak terlalu mahal karena diskon yang diberikan. Tapi sama saja, aku belum menyelesaikan cerita untuk majalah lagi, maka upahnya belum turun.

"Yaudah ambil aja." Dhira tampak senang memilih kaos yang ada.

"Hah cuma Dhira aja nih? Gua engga?" Zahra nimbrung tiba-tiba. Benar-benar tidak adil kalau harus membeli satu saja.

"Yaudah, Ra. Ambil aja." Aku kembali tersenyum. Mengeluarkan empat lembar uang seratus ribu. Kemudian menuju ke kasir.

Teman-temanku selalu begitu. Kata mereka aku adalah teman yang baik. Kata mereka, mereka juga sangat menyayangiku. Tapi ada yang janggal. Aku tidak mengerti cara menjelaskannya. Ada suatu hal. Selalu ada yang aneh dari mereka.

"Rin, gue denger lo jadi duta kota?" Kami berjalan mencari restoran yang katanya baru buka di mall ini.

"Syukurnya iya." Aku mengendikkan bahu. Aku juga tidak tahu alasan salah satu dinas kota bagian kependudukan dan keluarga berencana mengangkatku menjadi duta.

"Iya sih, Ra. Diakan aktif di organisasi." Dhira menyenggol bahuku. Kemudian membuatku tersenyum.

Selalu ada yang janggal disetiap pembicaraan kami. Hanya saja aku tidak tahu.

•••

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang