Part 34

3.6K 159 3
                                    

It's been five years since Keyrina say goodbye to her university.

Tenanglah
Akan selalu ada sosok yang membantumu berdiri
Ketika sosok lain mencampakkanmu

-aisya
.
.
.
.

Aku mengambil sepatu hak tinggiku di rak sepatu. Lalu menentengnya ke teras rumah. Kimmy sudah siap dengan baju putih abu-abunya. Ini tahun tahun pertamanya ia berada di SMA. Rasanya kemarin ia masih kelas dua SD. Tapi tetap saja, hal yang tak terduga tetaplah waktu.

"Kimmy, ini bekal makan siangnya." Ibuku keruang tamu sambil memberikan sekotak makan siang pada Kimmy.

Perhatian ibu beralih kepadaku. "Nanti ada operasi, Key?" Tanya Ibu.

Aku mengendikkan bahu. "Jadwalnya ngga ada, Bu. Tapikan kadang ada operasi darurat."

"Gamau bawa bekal? Atau makan siang bareng dia?" Tanya Ibu lagi.

Aku mengangguk. "Aku makan siang diapartemennya aja."

Kami sudah pindah sejak tiga tahun lalu. Perlahan tapi pasti, sejak aku magang di rumah sakit, saat setelah mengambil spesialisku. Aku mulai menabung membeli rumah ini. Rumah impian ibu. Tidak besar, tapi cukup. Ayah juga sering kuajak datang kesini. Aku membencinya tapi bukan berarti hubunganku dengannya akan berakhir. Dia tetaplah ayahku. Setelah berusaha membeli rumah, aku mulai dengan kendaraan. Yaitu sebuah mobil. Beruntungnya salah satu temanku membuka showroom. Jadilah hingga sekarang sebuah jazz hitam nangkring manis di depan rumah. Setidaknya usahaku tak sia-sia.

Beruntungnya ketika selesai mengambil spesialis, dan berhasil mendapatkan gelar sebagai dokter bedah saraf, aku diterima disalah satu rumah sakit swasta besar dibilangan kota. Letaknya tak terlalu jauh. Setengah jam dari rumahku. Sudah hampir tiga tahun aku disini dan mereka mengakui, bakat operasiku cukup bisa diacungi jempol. Usaha memang tak pernah mengkhianati hasil.
.
.
.
.

Aku masuk keruangan fellow. Tempat aku dan temanku berbagi ruangan. Hari ini aku memakai baju sesimple mungkin. Hanya baju terusan selutut berwarna biru tua. Aku tak lagi sering memakai bandana. Takut bandana itu terjatuh ketika aku harus melakukan sesuatu yang darurat. Aku mengambil jas putihku. Khas dokter. Mengambil beberapa pulpen dan memasukkannya ke dalam saku.

Aku berjalan mencari dokter tahun pertama, Dokter Reyva. Ah, si manis itu. Ketika masuk kesini, ia pernah menyatakan bahwa ia menyukaiku. Aku menjawab dengan sopan, yang mungkin perasaannya hanya sekedar kagum.

"Mungkin begitu, aku menyukaimu ketika aku melihat dirimu begitu peduli dan perhatian pada pasien yang lanjut usia maupun anak-anak. Dan begitu cekatan ketika melakukan operasi." Katanya menjawab pernyataanku sebelumnya.

"Maka itu, tadi kukatakan perasaanmu bukanlah menyukaiku seperti yang kau pikirkan. Kau hanya mengagumiku saja." Aku tersenyum kemudian memeluknya. Ia menepuk-nepuk punggungku.
.
.
.
.

Aku menemukannya di resepsionis sedang berbincang dengan suster lain. Ia menatapku dari jauh dan melambai. Aku mengangguk kemudian berjalan kearahnya.

"Cantik sekali hari ini dokter Rin?" Tanya salah satu suster itu. Aku menyengir sendiri.

"Ah bisa aja nih." Aku tersipu malu. Kemudian menatap dokter Reyva yang masih menatapku

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang