Part 4

8.8K 386 4
                                    

Pagi itu, aku berlari setelah turun dari angkutan. Menaiki tangga yang begitu banyak karena harus menuju lantai 5. Tempat lab. Bahasa. Aku tergesa-gesa hingga akhirnya sampai didepan lab. Bahasa aku melihat sosok yang tadi malam membuatku tersenyum ketika membaca chatnya. Kak Nanda. Ia tersenyum. Kemudian mengisyaratkan kepadaku untuk cepat masuk.

Didalam lab bahasa belum semuanya berkumpul. Mungkin karena yang mengikuti workshop diberi keringanan untuk datang terlambat. Tapi setengah jam kemudian semua sudah berkumpul. Didepan sudah ada 2 orang yang akan menjadi pembimbing kami. Kak Putra dan Kak Rasyid. Awalnya kami hanya dibagi dua kelompok kemudian pembimbing memilih cerita yang baik.

"Dikelompok ini siapa Sutradaranya?" Kak Putra mendatangi kelompok kami bersama Kak Nanda.

"Kayaknya Key aja deh." Kak Nanda tersenyum padaku.

"Key? Maksud kakak si Rin?" Tanya Dera, salah satu abang kelas yang dekat denganku.

"Iya, Keyrina." Oh.. Dia tau nama lengkap ku, batinku.

Tapi..
Kenapa jantungku berdetak cepat sekali?

•••

Hari itu berjalan dengan baik. Menjadi sutradara cukup melelahkan karena mengatur jalannya film. Semua sudah bubar dengan senyum tawa melengkapi perjalanan pulang karena bahagia bisa menjadi bagian penting dari sebuah film. Akupun begitu, bahagia bisa menjadi salah satu bagian dari mereka. Tapi yang lebih membuatku bahagia adalah memegang kamera milik Kak Nanda.

Aku melangkah ke arah halte untuk istirahat sebentar. Kakiku sakit rasanya karena terus berdiri. Kak Nanda menghampiriku, menyodorkan sebotol minuman dingin.

"Capek ya jadi sutradara?" Ia mengelus kameranya pelan.

Aku mengangguk. "Tapi nyenengin."

Aku menatap kamera yang dipegangnya lama. Kemudian aku meletakkan botol minuman itu disampingku, lalu membersihkan tanganku menggunakan tissu.

"Kak, pinjem kameranya dong." Aku hanya nyengir kuda sambil menunjuk kamera yang mengganduli lehernya itu.

"Mau ngapain? Emangnya bisa?" Ia menaikkan sebelah alisnya.

"Yeeee.." Aku menepuk bahunya. "Gini gini aku pernah jadi fotografer di smp tau." Aku menggerakkan jariku isyarat meminta kamera.

Ia melepaskannya dari lehernya kemudian meletakkan diatas kedua telapak tanganku dengan pelan. Aku tersenyum kemudian mulai mengutak-atik kameranya. Mulai dari mengambil foto jalan, anak-anak yang bermain, langit, juga Kak Nanda yang tengah duduk. Wajahnya begitu tenang menikmati angin yang berhembus disore seperti ini. Kemudian aku berjalan kearah halte lagi sambil melihat hasil jepretanku. Tapi aku menemukan sesuatu, ini bukan hasil jepretanku. Tapi, melainkan akulah yang menjadi objeknya. Aku yang sedang tertawa, aku sedang membungkuk, aku sedang membaca bahkan saat aku cemberut dikerjai oleh teman-temanku. Kak Nanda mengabadikannya disini. Didalam kamera yang begitu ia sayangi. Tak ada jepretan sosok tunggal lain selain aku. Yang lain fotonya selalu ramai. Tapi aku hanya sendiri.

"Kak Nanda, foto Key disini bagusloh. Ntar kirimin ya." Aku menunjukkan hasil jepretan yang ia ambil.

Ia terkejut kemudian menarik napas sebentar. "Kamu bukan model yang baik, tapi sisi natural dan angel yang baik membuat hasil fotomu sempurna." Ia tersenyum kemudian bangkit dari duduknya.

Ia berhenti sejenak kemudian menatap kebelakang. Lalu kembali mendekatiku. "Nanti malam aku kirimin kalo udah aku pindahin." Ia mengacak rambutku lalu pergi membereskan barangnya. Aku memegangi dadaku tepat dibagian jantung. Merasakan detakannya yang begitu cepat. Rasanya seperti melayang, padahal aku masih menginjak bumi.

•••

Aku berjalan kearah sebuah gang. Lalu berbelok kearah sebuah rumah. Selalu begini. Ini yang membuatku mengambil banyak kegiatan diluar rumah. Pulang kerumah hanya membuatku pusing dan sakit hati. Aku berlari kedalam, mengecek keadaan adikku.

Aku melihat ruang tamu begitu berantakan. Sepatu ada dibawah meja, sebelah lagi dibelakang pintu. Vas bunga terjatuh pecah, piring pun begitu. Aku segera menuju kamar adikku. Kubuka pintu kamarnya dan kudapati ia duduk di tempat tidur sambil termenung.

"Kak Rin udah pulang?" Ia menatapku sendu. Masih terlalu kecil dan ia harus mendengar keributan itu setiap hari. Aku berlari memeluknya. Aku ingin menangis tapi air mataku tak terjatuh.

"Kak Rin." Ia menatapku lagi. Tatapannya begitu sendu hingga aku tak kuat menatapnya untuk waktu yang lama.

"Apa ini akan berlangsung setiap hari hingga aku besar?" Ia kemudian menatap jendela yang sedikit terbuka.

Aku tak tahu ini akan sampai kapan, batinku.

•••

MAAF YA GUYS DISINI QUOTES NYA BLM BENER BENER ADA. KARNA PERMASALAHANNYA BELUM MASUK. SO, TUNGGU AJA DIPART BERIKUTNYA HATI KALIAN BAKAL NYESEK NYESEK DEH BACANYA HIHI💙💙

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang