Part 37

3.9K 180 2
                                    

Kupikir,
Keajaiban medis berlaku pada semua dokter
Tapi kemudian aku berpikir lagi
Spesialis bedah syaraf dan keajaiban tidaklah cocok satu sama lain
Malah, kami penuh keraguan
Tetapi alasan kami tetap berharap pada keajaiban adalah karena kami merasa tidak aman

---

Aku mendapati prof. Aris sedang berada di depan jendela besar di tangga. Jendela ini tembus ke taman teduh dimana tempat pasien biasanya berjalan-jalan. Aku mendekatinya kemudian ikut memandangi taman dan beberapa pasien disana.

"Kenapa professor tiba-tiba mau melakukan operasi?" Tanyaku tiba-tiba. Ia menoleh padaku, kemudian menatap kearah jendela lagi.

"Aku mulai berpikir, aku menghalangi keajaiban medis. Maka aku segera meminta persetujuan wali pasie . Dan dia sangat setuju." Ucapnya tenang. Matanya masih menatap kosong kearah jendela besar.

"Kau tidak percaya diantara dokter dan medis, keajaiban dapat terjadi?" Tanyaku lagi, aku menghembuskan napas berat.

Ia menatapku, "Awalnya begitu.." Kemudian ia berlalu pergi keruang ganti tanpa banyak bicara.
.
.
.
.

Satu minggu kemudian.

Aku dan prof. Aris memasuki ruangan tempat dimana pasien Atika dirawat. Ketika masuk prof. Aris langsung melihat monitor dan menghela napas berat. Ia melepas selang dibagian mulut dan merasakan napasnya dari mulut pasien. Kemudian menyenter bagian mata. Prof. Aris kemudian mencoba menggerakkan bagian kepala kekanan dan kekiri.

"Walinya?" Prof. Aris sedikit menoleh kearahku.

"Masih menunggu diluar." Aku berkata pelan.

Kami keluar dan mendapat Nanda masih duduk sendiri disana. Begitu melihat kami yang berjalan keluar ia langsung berdiri dengan raut wajah khawatirnya. Lalu bertanya bagaimana keadaan sosok perempuan yang terbaring bersama mesin mesin rumah sakit.

"Kondisi pasien, mati otak." Begitu mendengar kalimt itu, mata Nanda berkaca-kaca.

"Maka sebentar lagi, semua organ ditubuhnya perlahan akan tidak berfungsi. Ia juga akan berhenti bernafas." Nanda menatap prof. Aris dan aku bergantian. Aku hanya menunduk. Menyimpan rasa kecewa sekaligus sedih.

"Kami tahu menjalani hal seperti ini berat karena begitu mendadak." Prof. Aris berusaha menguatkan.

"Tapi anda perlu membuat keputusan." Ucapku pelan sambil menunduk. Oh, ayolah, Key. Apa kau tidak bisa kuat sedikit menjadi seorang dokter? Bukankah kematian sudah biasa kau hadapi? Batinku.

"Keputusan? Keputusan apa?" Nanda menatap kami bergantian.

"Pasien tidak akan terbangun. Dan kemungkinan bayi juga tidak akan selamat." Prof. Aris mulai berbicara lagi.

"Jadi maksudmu aku harus menyerah untuk dua nyawa didalam sana?" Tanya Nanda pelan.

"Yang hanya bisa kami lakukan sekarang adalah mempertahankan kondisinya dengan mesin." Ucapku membuat Nanda tampak semakin linglung.

"Apa yang terjadi bila terus dipertahankan dengan mesin?" Tanya Nanda. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Kalau berharap ada keajaiban..." Prof. Aris mulai bicara.

Terpotong.

"Jika pasien bisa bertahan, bayinya akan bisa bertahan dan hidup didalam kandungan." Jelasku, membuat Nanda menatapku dalam.

"Karena masih 20 minggu, bayi belum bisa hidup diluar dari rahim ibunya." Sambungku.

"Apa dia bisa bertahan?" Tanya Nanda, suaranya berubah sendu. Sedih menyelimuti wajahnya yang masih sama seperti dulu.

"Kami tetap tidak bisa menjanjikan apapun." Ucap prof. Aris.

"Tapi sampai dengan kita bisa menginduksi kelahirannya, kita bisa menggunakan mesin untuk memperpanjang hidup istri anda." Sambung prof. Aris.

"Dia pasti akan bertahan, dia perempuan yang baik. Dia juga tidak akan meninggalkan semua orang didunia. Dan akan bertahan demi bayinya." Mata Nanda mulai berkaca-kaca. Oh apa kau begitu mencintainya? Batinku.

Keajaiban tidak terjadi.
Sudah biasa,
kalau keajaiban tidak terjadi
Makanya disebut keajaiban.

•••

Uhh gatau mau bilang apa. But aku masih penasaran gaes itu sebenernya istrinya atau bukan? Wkwkkw

Okesep

Silahkan vote dan comment. Berharap menyentuh 200vote untuk cerita ini huhuhu:(

Gomawo🙏💙

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang