Part 35

3.5K 174 2
                                    

This part, the next part from part 1 and part 2

Merindulah
Tak ada salahnya merindukan kenangannya
Asalkan kau tak ingin kembali kedalamnya
-aisya
.
.
.
.

Pagi itu, aku masuk keruanganku. Duduk lalu mengganti sepatuku. Kemarin aku sengaja meletakkannya disini. Kurang nyaman rasanya memakai sepatu hak tinggi ketika mengendarai mobil. Maka aku putuskan meletakkannya saja disini.

Pagi ini dadananku tidak terlalu ribet. Rok sebetis dengan motif bunga-bunga dan kemeja polos berwarna pink. Sayangnya kemeja pink ini sedikit tersembunyi dibalik jas putihku. Aku melirik jam di atas mejaku. Sudah menunjukkan pukul 9 pagi.

Mejaku cukup rapi. Ada papan namaku disana, bertuliskab Keyrina Tasytjana. Disampingnya ada rak kecil dokumen milikku. Diatas meja itu juga ada fotoku dengan ibu beserta Kimmy. Disampingnya ada foto aku bersama kedua sahabat karibku sehak SMU. Aurel dan Tata.
.
.
.
.

Aku duduk diatas kursi empuk. Kemudian menyuruh suster membuja praktek sekarang. Aku membelakangi pintu masuk sambil mengambil beberapa dokumen yang kuperlukan. Suara pintu terbuka terdengar. Aku memutar kursiku sambil membaca dokumen tanpa melirik sosok didepanku.

"Silahkan duduk." Suster yang bersama menyuruh mereka duduk.

"Apa keluhan..." Aku mengangkat wajahku ketika selesai membaca dokumen.

Ia adalah salah satu dari sosok yang pernah menganggapku remeh. Mencampakkanku begitu saja. Aku menatap matanya dalam-dalam.

"Rin?" Ia memiringkan kepalanya. Bingung.

Aku menghela napas, menyenderkan bahuku pada kursi.

"Kamu jadi dokter sekarang?" Kenapa? Kau menyesal mencampakkanku begitu saja? Pikirku. Aku mengangguk.

"Apa keluhan yang terjadi pada.. Adikmu?" Aku bertanya hati-hati.

"Ah.. Dia anakku." Dhira mengelus kepala anak laki-lakinya.

"Apa yang terjadi?" Aku bertanya lagi.

"Anakku beberapa minggu terakhir jalan terpincang-pincang. Padahal awalnya ia baik-baik saja." Ucapnya. Aku bangkit daru tempat dudukku.

"Ayo sini. Coba jalan kemari, dan kita akan berkenalan." Ucapku lembut pada anaknya. Anaknya tersenyum lalu berjalan cepat dengan terpincang-pincang.

"Siapa namamu?" Aku memeluknya perlahan.

"Dera." Ucapnya manis.

"Baik, sekarang kembali ke ibumu, Dera." Aku melepasnya perlahan. Dhira menangkapnya lalu mendudukannya diatas kursi.

"Aku akan mengalihkanmu ke dokter Rafka." Aku menatap suster disamping yang langsung mengerti.

"Anda bisa menunggu ke ruang Dokter Rafka." Ucapnya sambil mempersilahkan. Tapi Dhira urung bangkit dari tempat duduknya.

"Kenapa bukan kamu aja, Rin?" Tanya Dhira pelan.

Aku tersenyum. "Aku gak bisa melakukannya."

"Bisa aku bicara sebentar?" Ia bertanya lagi dengan nada pelan.

"Waktuku tak banyak. Tolong tinggalkan kami. Suruh pasien lain menunggu." Ucapku pada suster muda ini. Kemudian ia mengangguk mengerti lalu keluar.

"Kenapa ga datang di hari pernikahanku, Rin?" Ia bertanya dengan wajah sendu.

"Aku ga menerima undangan atas nama kamu." Aku menjawab singkat, sambil menyender pada kursi hitam ini.

"Hari itu ibu kamu yang terima. Mungkin dia lupa sampein ke kamu." Ucapnya pelan.

"Memangnya kapan?" Tanyaku sambil menatap Dera yang sibuk memainkan beberapa pulpen diatas mejaku.

"Tujuh tahun lalu." Mataku menatap Dera lagi, tak percaya ia telah begitu lama menikah.

"Aku lupa, berapa umur Dera?" Tanyaku sambil melihat Dhira dan Der bergantian.

"Lima tahun." Ucapnya. "Aku menikah ketika aku semester empat kuliah. Aku memutuskan berhenti kuliah. Yang kupikirkan adalah suamiku punya penghasilan. Awal menikah, aku menunda memiliki anak dan banyak menghabiskan harta suamiku. Tapi setelah itu, aku mendengar mertuaku memarahinya. Perkara menimang cucu." Aku mengangguk-angguk mendenar ceritanya.

"Mertuaku marah karena aku sibuk dengan duniaku. Maka itu, aku langsung program memiliki anak." Ia mengelus kepala Dera.

"Lalu.. Bagaimana dengan yang lain?" Tanyaku hati-hati.

"Zahra, ia sudah menikah dan punya satu anak. Hanya saja ia menceraikan suaminya karena ekonomi suaminya yang menurun. Sedangkan Silvi, ia berhenti kuliah karena tak sanggup menjalaninya. Maka ia membuka grosir makanan didepan rumahnya." Ceritanya, ia mengelap sudut matanya.

"Diantara kami hanya Audri dan Fifah yang lumayan kehidupannya. Audri menjadi guru pramuka tetap di sekolah kita dulu, sedangkan Fifah menjalani bisnis restorannya yang mengembang besar." Ia tersenyum kemudian menatapku nanar.

"Tapi diantara kita, kamulah yang paling baik kehidupannya. Maaf kami pernah berbuat seperti itu padamu." Ia menggenggam kedua tanganku. Sudut matanya berair.

"Aku ga pernah menganggap itu kesalahan kalian. Kita hanya anak SMU yang bertingkag konyol." Ucapku tersenyum lalu menepuk-nepuk punggung tangannya.

"Tapi maaf, aku tidak bisa merawat anakmu menjadi pasienku. Aku akan menyerahkan pada dokter yang baik." Aku tersenyum. Bukankah memaafkan adalah hal paling mulia? Maka sejak aku mengetahui mereka berbuat begitu, aku selalu memaafkan mereka.
.
.
.
.

Prof. Aris masuk keruanganku tanpa mengetuk pintu. Aku sedang makan siang diruangan praktekku, segera menghentikan kegiatan itu. Ia duduk menungguku yang sedang meneguk air mineral.

"Kita akan melakukan operasi pasien Atika." Ucapnya serius.

"Kenapa?" Tanyaku, ia memiringkan kepalanya tanda tak mengerti atas pertanyaanku.

"Kenapa dokter mau melakukannya?" Tanyaku lebih jelas.

"Sesuai katamu, pasien sedang dalam koma, maka pendapat wali pasien lah yang terbaik." Ucapnya sambil tersenyum.

"Selesaikan makan siangmu, jam 1 pergilah bersiap." Ucapnya lagi kemudian keluar dari ruangan praktekku.

Apa aku sudah berhasil meyakinkannya sebagai dokter? Batinku. Aku mengendikkan bahu, melanjutkan makan siang agar setelah ini dapat melakukan operasi dengan baik.

•••

Btw kalo kalian ga ngerti, ini tuh sambungan dari part 2. Jadi part 3-34 itu sepertu masa lalunya si Keyrina. Nah ini dia kembali ke masa sekarang.

Dan wtf?
Dhira ketemu dia dan udah punya anak? Dan temen yang lain juga kehidupannya gitu gitu aja? Dan sekarang minta maaf? Kalo gue gt udah gue blg "gue gaplok lo dulu baru gue maafin"😂😂😂

Oke dey, hampir penghabisan huhuhu:"

Jangan lupa vote dan comment. Supaya bisa buat cerita baru lagi:"

Gomawo🙏💙

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang