Part 26

3.2K 138 1
                                    

"Jangan pernah menyesal karena kau pernah menunggu. Setidaknya kau telah merasakan apa itu berjuang."

Sudah seminggu setelah malam minggu yang aku dan Nanda lewati. Nanda tidak mengangkat teleponku. Membaca chat-ku juga tidak. Membaca saja tidak, bagaimana lagi dengan membalasnya.

Aku kembali menatap layar handphone-ku. Nanda tak menemuiku atau mendatangi rumahku. Ia hanya akan muncul saat sedang rapat premiere film yang kami garap bersama.

"Kenapa?" Tata datang dengan sebungkus snack yang disodorkannya kepadaku dan Aurel.

"Apanya?" Aku menatapnya sambil meraup snack dari bungkusnya.

"Nanda kenapa?" Perjelas Aurel menyembulkan kepalanya dari balik buku boy candra. Penulis kesukaan kami bertiga.

"Gue juga gatau." Aku mengendikkan bahu. Aku serius, aku gak tau sama sekali ada apa pada Nanda. Tapi anak itu menjauhiku secara terang-terangan.

"Mending.." Tata mengangkat kelima jarinya menyuruh kami menunggu agar dia bisa mengunyah dan menelan snack yang ada dimulutnya.

"Mendingan lo fokus sama film lo deh. Kayaknya bakal lebih afdol kalo lo bisa lupain itu dulu. Karna lo sutradara, lo harus total. Ini film lo." Tata mulai menyuap makanannya lagi.

Benar kata Tata, masih ada beberapa hal yang membutuhkanku.
.
.
.
.
.

Kami berkumpul diruangan yang kecil. Padahal ini sudah jam pulang sekolah. Ini hari sabtu. Pulang lebih cepat. Apalagi hari ini semua ekskul diliburkan. Tanpa alasannya jelas. Tapi yah.. Menyenangkan. Kata mereka hanya tinggal scene ruang gelap. Akhirnya karnena tidak ada yang mau mencari ruangan gelap disini. Aku menyerahkan diri untuk mencari ke seluruh penjuru sekolah.

Sekolah kami terdiri dari 5 lantai. Lantai pertama khusus untuk semua tempat staff, tak ada kelas. Hanya ada ruang tata usaha dan koperasi serta klinik.

Lantai dua hanya untuk kelas satu. Begitu hingga lantai empat. Dilantai lima ada ruang laboratorium. Aku mengelilingi lantai empat dan menyadari semua kelas terkunci. Padahal beberapa ruang dilantai empat begitu gelap hingga cocok di gunakan.

Aku menatap ruang guru lalu menyadari bahwa ruang guru begitu gelap dan satu-satunya ruangan yang tidak terkunci. Sepertinya cocok untuk shooting terakhir. Adegan yang dari kemarin selalu gagal setelah beberapa kali take. Padahal adegan pendek. Dasar pemain tidak serius, huh.

"Kak, ada sih ruang gelap. Tapi ruang guru. Kayaknya gapapa deh kita pake."  Aku duduk sambil menarik napas setelah lelah berjalan ke atas.

"Yaudah, yang ga berhubungan sama ini kebawah aja. Beres-beres langsung cari tempat rapat di teras." Tutup Kak Putra.

Semua bubar ke tugas masing-masing. Yang ke atas hanya aku, Alfa (btw, dia tertampan), Silvi, dan Bastian. Bersama kakak-kakak juga pastinya. Kemudian kami mulai menyusun bagaimana pengambilan yang baik.

"Oke sip, Alfa, lighting nya agak digoyang-goyangin ya. Rin, kamu agak dari bawah. Oke sip." Kak Putra mengatur segala macamnya.

Silvi yang berperan sebagai hantu dan Bastian yang berperan sebagai pemeran utama. Kami ingin membuat sebuah film yang mengandung banyak arti. Karena film ini juga yang akan dilombakan ke luar kota. Genrenya pun horor komedi.

"Kak gelap banget ya." Aku memandang seluruh ruangan yang tampak gelap sekali.

"Permisi ya, kami mau shooting doang." Kak Putra seperti izin kepada ntah siapa.

Kami pun mulai take pertama. Tapi kali ini Silvi gagal tertawa karena batuk yang mengganggu. Kasihan... Tertawa kuntilanak bukannya mudah, malah rasanya kita harus menggunakan tenaga dulu. Maka Kak Rasyid menyarankan Silvi untuk minum air yang sudah disediakan.

"Kalau hanya meminta maaf saja bisa. Apa gunanya tanggung jawab. HAHAHAHAHAHAHA." Suara tawa Silvi melengking ke seluruh penjuru ruang guru yang gelap gulita.

Drettt... Bruakkk...

Suara kursi menabrak dinding. Bisa ku perkirakan itu. Kami menatap satu sama lain. Saling bertanya ada apa dan siapa yang menggeser kursi itu. Kami semua tenang kemudian melanjutkan shooting yang tinggal sedikit lagi.

"TIDAKKKKKKKKK." Bastian berteriak sambil menggeleng mengikuti instruksi di naskah.

Dretttt... Bruakkkkk....

Kali ini hantaman kursi lebih keras. Kami segera menghidupkan lampu. Melihat salah satu kursi menempel ke dinding. Lalu berusaha tenang. Kemudian membereskan segala macam barang dan berlalu keluar. Hanya tinggal aku dan Alfa disana.

"Fa, lo jangan ninggalin gue. Gue matiin lampu dulu." Aku menjulurkan tanganku kedalam kemudian memencet saklar lampu yang ada disamping pintu.

"Rin, liat!!" Alfa menunjuk lampu dilorong lantai empat ini. Mati satu persatu. Bahaya.

"Lari, Rin!!" Alfa menggenggam tanganku. Mengajakku berlari melewati lorong panjang. Lampu satu persatu mati seperti kegelapan mengejar kami. Ini seperti di film horor. Aku takut. Gemetar.
.
.
.
.
.

Aku dan Alfa duduk disamping mereka. Alfa tampaknya sudah mulai tenang. Hanya saja tanganku masih bergetar disusul getaran dari bibirku. Keringat dingin muncul dari dahi kami berdua. Berlari seperti ada yang mengejar, tapi saat dilihat tak ada yang mengejar. Lampu berhenti mati ketika kami menuruni tangga dengan cepat.

"Kenapa sih kalian?" Aurel menggenggam tanganku yang gemetar. Aku tak bisa bicara. Sehingga Alfa menjelaskan pada mereka semua.

Mereka bergidik ngeri. Mulai membicarakan hal-hal mistis. Membicarakan gosip bahwa banyaknya penghuni disekolah ini. Aku mulai menghiraukan mereka.

"Iyakan gue denger juga gitu. Lantai empat mah hantunya banyak banget. Gila gue bolot bolot gini juga kalo dikejar gabakal nanya dulu itu apa, langsung lari...." Zahra ingin meneruskan celotehannya, tapi..

Pletak..
Sebuah jitakan sempuran mendarat ke dahi Zahra dari pacarnya sendiri. Kak Darka.

"Woi bolot, gue dilante empat bego. Lu kaga usah nakutin." Ia melipat tangannya didepan dada.

Tiba-tiba Nanda bangkit. Membuatku berpikir ia pasti juga khawatir. Membuatku berharap ia akan menghampiriku. Aku menatap Nanda, rasanya ingin menghambur kepelukannya seperti biasa. Tapi kali ini, ia melewatiku. Menjumpai kakaknya yang tak lain tak bukan adalah Kak Putra.

"Kak, aku balik dulu. Mau ngambil tiket masuk yang bakal dijual. Besok biar pembagian." Kak Putra mengangguk. Mengiyakan. Ia melenggang pergi.

Andai kamu tahu,
Bagiku mencintaimu adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan.
Kenapa?
Karena bagiku mencintaimu hanya akan menggunakan hati.
Ikhlas adanya.
Tak peduli ketika ia terbalas atau tidak.
Tak peduli ketika memiliki atau tidak.
Tak peduli ketika sosok yang dicintai harus pergi.
Begitulah sepantasnya mencintai.
Karena ketika kau mencintainya dengan ikhlas,
Tak akan ada penyesalan diakhir karena kau akan tau,
Kerasnya berjuang seperti apa.

•••

Huft, cinta itu rumit manteman😢
Sudah mau menuju akhir rupanya. Baru kusadari. Maafkan keterlambatan updateku selama ini yah😘

Vote dan komen jangan lupa guys. Biar semangat sampai akhir wkwkwk☺️

Gomawo🙏💙

Another TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang