Ia segera mematikan teleponnya. Aku kembali memperhatikan pasien. Dokter kandungan sedang mengecek keadaan bayinya. Dari yang kulihat bayinya baik-baik saja. Ketika Prof. Aris datang aku dan Reyva segera mengikutinya untuk mengecek hasil CT scan. Sudah ada Dokter Dimas disana, kami berempat mulai berdiskusi tentang pasien ini. Prof. Aris langsung memperhatikan hasil CT scan.
"Benar ada pendarahan. Apa kata dokter kandungan?" Ia menatap ke arahku dan Reyva bergantian.
"Janinnya baik-baik saja. Apa ia akan dioperasi?" Tanyaku.
Prof. Aris mengalihkan pandangannya ke Dokter Dimas yang duduk didepan monitor. "Bagaimana pendapatmu, Dimas?"
Dimas menghela napas. "Itu keputusan dokter, aku bukan pemimpin operasi." Jawabnya
"Apa aku menyuruhmu jadi pemimpin? Aku hanya tanya apa keputusan terbaik dalam situasi ini. Reyva?" Ia mengalihkan pandangannya kearah Reyva.
"Menurutku ini tidak perlu dilakukan operasi." Jawabnya singkat.
"Kenapa?" Tanya prof. Aris
"Level GCS-nya 4 dan garis tengahnya bergeser 15mm juga pupil mata melebar." Jelas Reyva yang disambut anggukan dari Prof. Aris.
"Dokter Rin?" Pandangan Prof. Aris beralih padaku.
"Menurut pendapatku, operasi tak akan membantu. Tapi disaat seperti ini aku merasa kita juga harus mendengarkan pendapat wali." Aku menjawab sekaligus masih memperhatikan hasil CT scan.
"Itu adalah pikiran amatir. Itu adalah cara berpikiran yang salah untuk seorang ahli bedah. Operasi tidak akan dilakukan. Dengan kerusakan separah ini operasi tak akan membantu. Pada akhirnya akan menyebabkan pasien lebih kesakitan dan melukai pasien serta wali." Ia bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan keluar.
"Rin." Panggilnya
"Hm?" Aku menatapnya.
"Hubungi walinya segera." Aku membalas anggukan dari perintahnya itu.
Aku dan Reyva kembali berbincang sedikit mengenai pasien lain. Setelah memastikan Reyva sudah melakukan semuanya aku langsung menyuruhnya memanggil wali dari pasien yang kami periksa tadi. Reyva kembali melihat ke kanan dan kiri memastikan dimana wali pasien. Kemudian telunjuknya menunjuk ke arah belakang punggungku. Akupun berbalik dari kejauhan mendapatin seorang laki-laki dengan kamera mengganduli lehernya, setengah berlari ke arahku. Awalnya wajahnya tak begitu jelas. Tapi sedetik kemudian aku bisa menandai wajahnya.
"Oh.." Aku mundur selangkah.
"Dokter Rin, ini wali dari pasien bernama Atikah." Jelas Reyva sambil berusaha menenangkan wali pasien.
"Key?" Aku mengambil napas dalam dalam kemudian kembali menatap wali pasien tersebut.
"Ah ya, ini Dokter Keyrina." Reyva tersenyum kepadaku. Aku tersenyum getir.
"Aku akan menjelaskan keadaan pasien padamu. Duduklah agar anda bisa lebih tenang." Aku mempersilahkannya duduk.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya lelaki ini.
"Kerusakan otak yang dialami pasien sangat parah. Ia hampir tak punya kesempatan untuk pulih." Aku mulai menjelaskan.
"Itu artinya masih ada kemungkinan kecil, bukan? Bukankah setidaknya masih ada sedikit harapan? Apa tidak bisa dioperasi?" Serentetan pertanyaan keluar dari mulutnya, wajahnya tampak begitu khawatir.
"Kami tidak akan melakukannya." Aku menatap lelaki itu dan Reyva bergantian.
"Kenapa? Ada apa?" Tanya-nya lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Time
RomanceTenanglah.. Ini hanya soal waktu yang harus tetap kau ikuti arusnya. Siapa yang tahu kapan hati bisa menerima orang baru. Siapa yang tahu kapan hati bisa sembuh dari luka saat ia patah begitu sendu. Terkadang hati hanya takut menerima cinta baru ha...