Chapter 22

2.3K 162 9
                                    

Alrine POV

Aku memandang jendela kaca didepanku dengan tatapan kosong. Ragaku didalam kamar ini, namun pikiranku meliar memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Khayalan negatif mulai muncul di otakku, membayangkan diriku yang meringkuk dengan keadaan terikat didalam rumah sakit jiwa yang ku sebut neraka.

Kejadian waktu itu seakan-akan tak pernah bisa ku lupakan. Dimana saat papa membenciku, orang-orang memandangku merendahkan, para petugas neraka itu menyuntik, mengikat, menyetrum, memaksaku untuk menelan obat-obat pahit karena kesalahan yang tak pernah kulakukan.

Kadang aku bertanya kepada Tuhan, Kenapa orang sepertiku yang tidak mampu di beri pencobaan seberat ini.

Hidup memang selalu berjalan tetapi aku ingin tetap di zona nyamanku dimana aku dan orang-orang sekitarku bahagia tanpa adanya masalah, namun sepertinya takdir memaksaku untuk keluar dari zona tersebut.

"Rin, lo makan, ya? Daritadi siang lo belum makan," Suara Ren menginterupsi lamunanku. Aku menatap makanan yang di pegang Ren kemudian membuang pandanganku ke arah yang lain.

Didalam ruanganku tersisa Alreni, Alrian, dan Mama yang sedang keluar sebentar. Om Arya, Ben, dokter Bryant dan Lionel sudah pulang.

"Kalo nggak nanti gue habisin loh ayamnya," kak Ian yang menduduki ranjangku menimpali.

Ren mengetuk kepala kak Ian membuatku terkekeh dalam hati, "Makanan Rin tadi siang lo habisin, ini juga? Rakus!"

Kak Ian mengusap kepalanya sambil menyengir. Aku hanya menatap mereka dengan diam tanpa ekspresi.

Suara decitan pintu yang terbuka menampilkan mama yang masih menggunakan jas dokternya. Mama adalah salah satu dokter di rumah sakit ini yang merupakan milik keluarga papa dengan papa yang menjadi CEO-nya. Omong-omong tentang papa, aku tahu bahwa ia peduli padaku hanya saja keadaan yang membuat ia menjauhiku.

"Rin, udah makan?" Mama bertanya sambil melepaskan jas dokternya.

Aku hanya menggeleng karena tak ingin bicara.

"Dari tadi udah di bujuk masih nggak mau makan, mah." Kak Ian mengadu.

Mama menghembuskan nafas, kemudian berjalan ke arahku dan mengambil alih piring berisi makanan yang di pegang Ren.

"Kamu mau makan apa, Rin? Kamu harus makan untuk pemulihan tubuh kamu," Mama merapihkan rambutku, "tuh pipi kamu aja udah tirus, badan kamu aja jauh dari body goals." Mama terkekeh, aku tersenyum tipis melihat kekehan mama karena sedari tadi aku melihat wajah mama kelelahan hanya saja mama menyimpannya.

"Mirip Ren tuh, sejak lo di penjara, dia jarang banget makan karena khawatir sama lo," Kak Ian menunjuk Ren kemudian meringis karena Ren mencubit keras perutnya.

Aku menatap Ren lalu tersenyum tulus, "makasih udah khawatirin gue." Aku berucap dengan suara serak karena baru saja bersuara.

Ren membalas senyumanku sambil menggenggam erat tangan kananku yang bebas dari infus.

"To be honest, gue nggak bisa sehari bahkan lebih nggak ketemu sama lo, please don't leave me again." Matanya mulai berkaca-kaca. Aku tersenyum lagi dan mataku ikut berkaca-kaca. Heuh, ikatan batin anak kembar.

"Rian, kamu nangis?" Mama bertanya di sebelahku. Aku dan Ren sontak menatap kak Ian yang buru-buru mengusap matanya.

"Eh enggak kok, mah. Kelilipan aja."

"Halah, jujur aja kenapa, terharu kan?" Ren mengejek, kak Ian pun menatap Ren datar, sedangkan aku terkekeh kemudian bangkit untuk duduk dan memeluk kak Ian juga Ren.

Alrine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang