Chapter 44 -END-

1.9K 152 14
                                    

Buat yang nanya kenapa chapter 44 kemaren nggak muncul, itu sebenarnya belum selesai. Author kepencet publish. He he he ;)

Author mau ngucapin terima kasih banyak, buat readers yang udah votes bahkan comments penuh dukungan, i really really appreciate all of it :'D

Enjoy this last chapter!

Melihat adiknya yang langsung keluar dari ruangan membuat Alrian bertanya-tanya, ditambah ekspresi Alrine yang terlihat terkejut dan khawatir. Ia pun memutuskan untuk mengikuti gadis itu.

Sesampainya di lantai dasar, ia tambah bingung karena keadaan rumah sakit terlihat penuh. Orang-orang berlalu lalang dengan cemas, Alrian pun bertanya pada salah satu suster disana.

"Ada apa ini, sus?" tanyanya.

Suster itu terlihat kaget kemudian menjawab, "Tadi pagi terjadi kecelakaan pesawat, Pak. Banyak pasien yang terluka sehingga di rujuk kesini karena rumah sakit kekurangan alat."

Alrian tergelak, ia teringat perkataan Alrine kalau pesawat yang ditumpangi Lionel seharusnya sudah tiba sejak tadi pagi.

"Suster tahu dokter Alrine dimana?" tanya Alrian lagi.

Suster itu mengangguk lalu menuntun Alrian menuju ruang UGD.

Sesampainya di UGD, Alrian menemukan Alrine sedang terduduk sambil menangis. Baru saja ia menuju ke arah Alrine, seorang laki-laki datang dan berdiri di belakang adiknya itu.

Walaupun laki-laki itu membelakanginya, Alrian sangat mengenali laki-laki itu. Alrian tersenyum lega kemudian beranjak pergi dari ruangan itu.

_÷_

"I told you, i'll never leave you." Suara seorang laki-laki dibelakangnya, membuat Alrine bergeming. Suara tersebut menggema ditelinganya, suara yang ia rindukan dari seorang yang ingin temui saat ini.

Alrine perlahan berdiri lalu membalikkan tubuhnya sehingga memandang sempurna wajah laki-laki didepannya itu.

"Le... leo?" Ia tergagap, gumpalan air mata di kelopak matanya mulai mengucur dikedua pipinya namun berbeda dengan sebelumnya, kini ia tersenyum bahagia.

Alrine memeluk Lionel erat menyalurkan rasa rindunya, tetapi itu tidak bertahan lama karena ringisan Lionel yang memegang perutnya.

"Kamu terluka?" tanya Alrine cemas.

Lionel mengangguk pelan lalu mengangkat kaus yang ia kenakan. Terlihat sebuah goresan cukup besar yang terus mengeluarkan darah di perut bagian kirinya.

"Tadi kegores besi, pas aku mau ambil kotak kecil yang kamu pegang itu," Lionel menjawab disertai senyuman tipis, "nggak sakit, kok."

Alrine menatap datar laki-laki didepannya, "jangan sok kuat, dipeluk aja langsung ngeringis." Ia menyuruh Lionel berbaring diatas brankar, kemudian diambilnyalah beberapa peralatan medis yang tersedia di ruang itu.

Setelah menyuntikkan bius penghilang rasa sakit, dengan lihai Alrine menjahit bagian perut Lionel yang terluka kemudian menutupinya dengan perban.

"Istirahat disini, jangan kemana-mana, aku mau urus pasien yang lain."

"Iya-iyaa, buk dokter." balas Lionel. Alrine tersenyum lalu meninggalkan Lionel untuk beristirahat.

_÷_

Alrine POV

Usai menangani beberapa pasien di ruangan itu. Aku langsung menuju ke kamar rawat Leo, sebelumnya lelaki keras kepala itu menolak dan meminta untuk pulang. Tetapi aku langsung mencegahnya, ia memerlukan perawatan intensif dengan luka diperutnya.

Kubuka pintu kamar rawatnya, aku mendapatinya sedang tertidur, rupanya efek dari obat bius tadi. Jam tanganku menunjukkan tepat pukul 8 sore, jika dihitung sejak tadi siang aku menangani pasien pertama tadi, aku telah bekerja hampir 9 jam. Memang tadi ada beberapa pasien yang membutuhkan operasi, hingga aku harus turun tangan.

Melihat Leo yang tertidur pulas, aku  jadi ikut mengantuk. Aku pergi ke kamar mandi mencuci tangan serta wajahku kemudian melepaskan jubah dokter yang kukenakan sejak tadi lalu membaringkan tubuhku ke atas sofa dikamar itu hingga kegelapan menghampiriku.

_÷_

D

ug dug

Suara barang terjatuh, membangunkanku dari tidurku. Aku membalikkan tubuhku yang menyamping.

Aku terkejut karena wajah Leo yang hanya beberapa senti dari wajahku. Lagi-lagi jantungku berdetak tak karuan seperti cacing kepanasan tidak ingin berhenti... eh jangan deh, nanti nafasku yang ikut berhenti.

"Adegan dewasa!" Sontak aku dan Leo menengok ke arah suara teriakan itu berasal, ternyata itu adalah Fendy, Revan, Kevin sahabat - sahabat Leo, serta kak Ian dan kak Ben. Mereka -kecuali kak Ben- saling menutup mata masing-masing.

Oh no! Mereka salah paham. Aku langsung berdiri dari sofa.

"Kalian udah dewasa! Jangan kekanak-kanakan gitu," tegur kak Ben kepada mereka. Mereka berempat pun langsung menurunkan tanganya masing-masing.

"Lo berdua kalau pengen, jangan di rumah sakit juga dong. Cari hotel!" cetus Revan, tiba-tiba kepalanya dijitak kak Ian.

"Adek gue belum nikah, oon!"

Aku tertawa melihat ekspresi Revan yang merintih.

"Jadi kalian berdua, kapan nikahnya?" Tertawaku langsung berhenti.

"Minggu depan." jawaban laki-laki disampingku membuatku tercengang. Aku menatap Leo bertanya-tanya. Minggu depan?

"Iya, minggu depan. Aku udah nyiapin semuanya, keluarga kamu juga setuju." Lingkaran dimulutku makin besar, segera ku tatap tajam kak Ian yang ternyata sudah mengetahui duluan tentang ini. Sedangkan kak Ian hanya menengok ke arah atas seolah tidak peduli dengan tatapanku.

"Jadi," Leo sudah berlutut bertumpu pada kakinya kanannya, ia mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.

"Alrine Alexa Janvers, would you be my wife?"

Aku tersenyum haru, Leo menatapku dalam dan penuh harap.

"TERIMA! TERIMA! TERIMA!" Aku menengok, ternyata bukan hanya lima laki-laki tadi yang ada. Disana juga terdapat Ren, Vero, tak terkecuali Brie yang kini sudah bertunangan dengan kak Ben.

"Yes, i would." jawabku.

Leo tersenyum lebar kemudian ia memelukku. Aku pun membalas pelukannya.

Dalam hatiku, aku sangat bersyukur. Saat-saat seperti ini, dulu hanyalah sebuah mimpi indah diantara mimpi-mimpi buruk yang menghantuiku hingga ke dunia nyata.

Kedua alterego-ku yang dulu selalu menemaniku telah hilang. Tubuhku sepenuhnya milikku, namun hidupku adalah untuk mereka, keluargaku, teman-temanku, serta orang lain. Menjadi sebuah alasan mereka untuk bahagia dan membantu mereka untuk bertahan dalam segala masalah yang terus ada.

Life is heavy like a big rock, but it can be easy if  someone help you lift it up.

THE END

Alrine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang