Chapter 36

1.9K 147 6
                                    

Lionel POV

Kucoret angka 25 di kalenderku, tepat besok aku akan berangkat ke Paris. Perusahaan cabang milik papa yang nanti akan menjadi milikku. Setahun yang lalu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus mendapatkan maaf dari Alrine, gadis yang menjadi alasan aku harus bangkit dari kesedihanku atas perginya kedua orang yang paling aku sayang di dunia ini, Mama dan Kak Ardo. Kematian mereka membawa duka yang mendalam.

Aku menjadi pendiam, tak peduli, egois, bahkan apa yang dikatakan papa tentang menjadikan aku sebagai CEO perusahaannya selalu kutolak. Aku memang benci pekerjaan itu sejak papa menerima tawaran Opa untuk menjadi pemegang kerajaan bisnis kelurga kami, karena itu papa yang perhatian dan penyayang keluarga menjadi sangat sibuk dan jarang di rumah.

Hingga kejadian yang tragis itu terjadi, sebelumnya papa menjanjikan bahwa kami sekeluarga akan menginap di villa milik papa, namun tiba-tiba papa menundanya karena harus mengurus sesuatu di kantornya, namun mama berniat untuk tetap pergi walau tanpa papa. Keluarga lebih dari segalanya, kata mama yang terakhir sebelum mama pergi dari dunia ini.

Kejadian itu terjadi sangat cepat, sampai aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal kepada mereka berdua.

Tetapi pandanganku pada kejadian itu berubah ketika Ben menceritakan semua tentang gadis itu, bahwa saat Alrine masih menginjak kelas 8 SMP, dia sudah masuk rumah sakit jiwa atas tuntutan keluarga dari kakak kelasnya yang dia--ah bukan, alteregonya bunuh.

Aku tersadar, aku bukan satu-satunya orang yang mengalami masa lalu yang buruk. Ada orang yang lebih menderitanya dibanding aku.

Dia adalah perempuan bahkan orang paling kuat yang pernah kutemui, bukan kuat fisik, melainkan mental.

Ia sangat pintar menyembunyikan keterpurukannya, ia periang, suka tersenyum, cerewet. Padahal didalamnya dia sangat rapuh.

Karena dia, aku mengerti.

Bahwa masalah itu ada untuk dihadapi bukan untuk diratapi. Sebesar pun masalah itu, akan menjadi kecil bila ketegaran hatimu lebih besar dari apapun.

_÷_

"Yo, biar gue agak kesel sama lo yang cuek bebek. Kayak cewek PMS. Jauh dilubuk hati gue, gue bersyukur banget dapet sahabat macam lo!" Revan menepuk bahuku keras.

"Sama!" ujar Kevin dan Fendy bersamaan kemudian tiba-tiba menepuk bahuku keras. Aku meringis lalu menatap mereka satu persatu dengan tajam.

Mereka hanya menyengir sambil mengangkat dua jari.

Seseorang memanggil namaku dari belakang. Aku berbalik dan mendapati Ben berdiri tegak menatapku dengan tatapan datarnya.

Aku membalas tatapannya, "gue minta maaf udah nyakitin Alrine," aku menahan nafas, "tapi gue janji gue akan minta maaf ke dia langsung, walaupun kalian nggak ngasih tau dia dimana sekarang. Gue bakal berusaha cari dia."

Tanpa kuduga, Ben memberikanku selembar kertas kecil.

"Itu alamat tempat dia tinggal," Ben meremas bahuku, "Rin cinta sama lo, dia pasti bakal maafin lo. Tapi lo jangan sia-siain cintanya, gue nggak sanggup lihat dia kayak mayat hidup lagi."

Aku mengangguk bersungguh-sungguh, "gue bakal berusaha buktiin, kalau gue nggak akan pernah jadi alasan dia terpuruk lagi."

Alrine, i'll never let your tears fall again.

_÷_

Author POV

"Kau akan masuk jurusan apa, nanti?" tanya perempuan berambut pirang yang sedang menunggu namanya akan dipanggil begitu pula Alrine.

Alrine menoleh ke arah perempuan itu, "kedokteran. Kalian?" tanyanya pada gadis itu dan gadis disampingnya yang sudah menjadi sahabatnya selama satu tahun di kota ini, Audrey dan Athalia.

"Desain, sesuai hobiku." jawab Athalia sambil mengunyah permennya.

"Aku mengambil bisnis sama seperti Jericho." celetuk Audrey.

"Kalian berdua seperti semut dan gula saja," Athalia memutar bola matanya. Sedangkan Alrine terkekeh pelan.

"Kau pikir aku peduli?" balas Audrey kemudian menoleh pada Alrine lagi, "kau akan berkuliah disini?"

Alrine menggeleng sambil tersenyum tipis, "tidak, aku akan berkuliah di Berlin. Tempat kelahiranku."

"Baru setahun bertemu, cepat sekali berpisah." keluh Audrey.

"Every 'hi' has a 'goodbye', right?" timpal Alrine, "tenanglah, selama wi-fi masih gratis, kita akan terus terhubung." canda Alrine.

Audrey dan Athalia menatap Alrine datar.

"Calon dokter, tapi pelit." cibir Audrey. Sedangkan Athalia mengangguk setuju.

"Alrine Alexa Janvers," perhatian Alrine teralihkan pada suara seorang pria memakai mic, "meraih peringkat pertama dengan nilai 98,5 %," seluruh hadirin didalam aula bertepuk tangan termasuk kedua gadis di sampingnya. Alrine terkejut tak menyangka kerja kerasnya selama satu tahun di sekolah ini berbuah besar. Ia yang selalu pulang malam karena harus menjalani terapi untuk menyembuhkan alteregonya bersama Reyna dan Bryant, dengan giat belajar agar nilainya tidak menurun. Dengan ini ia percaya kalau usaha tidak akan mengkhianati hasil.

Alrine dengan bangga berjalan menaiki anak tangga kemudian menerima piagam serta ucapan selamat dari sang kepala sekolah. Ia berpidato singkat, tentunya dengan bahasa denmark yang sudah ia kuasai hampir sepenuhnya dengan bantuan Elliot dan Jericho. Ia melempar senyuman lebarnya lalu menuruni panggung.

Setelah acara penamatan itu selesai, Alrine yang masih memakai toga kebanggaannya beranjak dari tempat duduknya kemudian menuju Reyna dan Roland yang bersama Vanka, istrinya, tak lupa Elliot dan Jericho.

"Selamat ya, usaha kamu nggak sia-sia." ucap Reyna sambil memeluknya.

"Makasih buat tante Reyna, om Roland dan tante Vanka. Tanpa kalian Rin nggak bakal berhasil."

"El, sedari tadi gue nggak dengar ucapan 'terima kasih' buat kita, ya?" sindir Jericho disamping Elliot, saudaranya.

"Yoi, padahal yang jadi guru les bahasa itu kita, 'kan?" Elliot tambah menyindir.

Alrine mengedarkan pandangannya tak memperdulikan sindiran Elliot dan Jericho. Mencari keberadaan seseorang.

"Tante Reyna, Bryant kemana?" tanya Alrine.

Baru saja Reyna ingin menjawab tiba-tiba seseorang dibelakangnya menggelitiki perutnya.

Alrine berbalik menoleh siapa yang menggelitikinya. Ia tersenyum melihat seorang laki-laki berdiri tegap dengan sebuket bunga mawar putih kesukaan gadis itu di tangannya.

"Bryant, stop! Geli ih!" Alrine bersusah payah menjauhkan tangan kiri Bryant terus menggelitiknya.

Bryant berhenti menggelitik gadis itu dan tertawa kecil lalu menyodorkan sebuket bunga ditangannya pada Alrine.

"Congrats! Calon ibu dokter!"

Alrine terkekeh kemudian menerima bunga itu, "Thank you, pak dokter!"

Alrine tak henti-hentinya tersenyum melihat orang-orang didepannya. Walaupun kurang rasanya, tidak ada kedua saudara kembarnya, mamanya, dan papanya yang selalu bersamanya sejak kecil. Selama satu tahun ini, ia hanya berhubungan dengan panggilan wajah dan suara dengan keluarganya di Indonesia.

Ia sangat merindukan keluarganya disana.

Terlebih laki-laki es baloknya.

Alrine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang