27. PREGNANT?

2.3K 78 7
                                    

Renata.

Sudah dua hari aku menangis. Entah itu di kamar, di taman ataupun di kamar mandi. Aku masih tidak menyangka kalau selama ini mami menutupi tentang kematian papi karna ingin aku tidak larut dalam kesedihan. Padahal sesuatu yang ditutup-tutupi akan kebongkar pada saat yang tepat. Dan kemarinlah saat yang tepat.

Kemarin aku nyekar ke makam papi. Ya letaknya tak jauh dari rumahku. Hanya berjarak lima ratus meter saja. Tentu saja bersama dengan Raza. Aku perkenalkan suamiku di hadapan papi. Aku terus menangis di depan makam papi, sehingga membuat Raza tidak tega denganku.

"Yang, ayo kita pulang." Raza berusaha membopongku. Kedua tangannya memegang kedua bahuku.
Tetapi aku menggeleng.

"Enggak, Za, kalau lo mau pulang yaudah pulang duluan aja." Tanganku masih memegang nisan papi.

"Yaudah, lima menit lagi ya?" Tawaran Raza membuatku mengangguk.

Atau mungkin setiap hari aku akan mengunjungi makam papi tanpa mami?

Hari ini aku bolos kuliah. Entah kenapa rasanya malas sekali berbaur dengan orang lain selain Adel. Tapi, mami bilang aku orangnya ekstrovert dan suka bergaul.

Aku hanya duduk di taman sembari meminum kopi hitam kesukaanku sejak SMA. Kopi yang mami bawakan saat ia dinas di Bandung. Sedangkan Raza, ia lebih menyukai cokelat panas dibandingkan dengan kopi.

Sekarang aku tidak tau dimana keberadaan makhluk aneh itu. Tadi pagi ia bilang padaku kalau ia mau masuk kuliah. Hanya satu alasan kenapa Raza sangat semangat kalau kuliah yaitu, ia hanya ingin berkumpul dengan gang nya. Bukan untuk belajar. Tapi jangan salah, Raza selalu mendapat IPK diatas 4.

Dua hari kemarin Raza sangat bingung, bagaimana ia bisa membujukku agar aku tidak terus-menerus menangis. Ya walaupun kita itu tidak boleh terus menangisi orang yang sudah beda alam. Tapi rasanya hampa, setelah lima belas tahun ditinggal oleh orang yang paling aku cintai selain mamiku.

"Aduh! Siapa sih ini?" Mataku tiba-tiba hitam. Ada yang menutup kedua bagian mataku telapak tangannya. "Raza, ya?" Lanjutku.

"Kamu jangan membuka mata dulu ya." Aku mengangguk. Oh Tuhan mau apa lagi dia?

"Bentar jangan ngintip dulu kenapa, gak tau apa aku susah masangnya." Di leherku seperti ada sesuatu yang mengganjal.

"Buka."

Saat Raza menyuruhku untuk membuka kedua mataku. Aku terkejut. Sungguh terkejut. Ia membelikanku berlian, yang kalau dihitung rupiah nya sangat lah mahal.

"Ini beneran?" Tanyaku masih tak percaya.

"Iya lah yang, masa bohongan sih." Lalu ia duduk di sebelahku. Kepala nya di senderkan di bahuku.

"Yang, jangan nangis mulu kenapa. Tuh kan mata nya kayak panda, hitam-hitam gimana gitu."

"Lo tuh ya, gak pernah ngerasain gimana rasanya ditinggal sama orang yang paling lo sayang!" Bukannya aku ber-terimakasih padanya, aku malah memaki-maki dirinya. Ya, mood ku selalu berubah dengan cepat.

Raza menghela napasnya, ia mengelus dada nya. Mungkin ia lagi menahan dirinya agar tidak terbawa emosi padaku.

"Galak banget sih, yang." Raza mencubit pipiku. Aku tak mau kalah, aku pun mencubit lengan nya dengan sekuat tenaga.

"AW!"

"Apa?! Mau cubit-cubit gue lagi?!"

"Iya yang maafin dede emesh ini." Raza melihatku dengan tatapan pasrahnya. Oh Tuhan kenapa makhluk ini diciptakan.

"Iya," Jawabku seadanya. "Kuliah sana!"

"Oh, jadi ngusir nih?" Lalu kepala nya ditegakkan seperti biasa.

"Iya! Kenapa? Gak suka?!"

"Iya gak suka. Aku kan mau nya disini sama istri aku!" Ucapnya sambil membelalakan matanya.

"Gombal!" Lalu aku kembali menyeruput kopi milikku tadi.

"Minum apa yang?" Tanya nya sambil melirik ke cangkir yang ku pegang.

"Kopi."

"Jangan minum kopi mulu kenapa, bahaya tau!"

"Orang aku jarang minumnya kok "

Lalu ia tertawa, kenapa tertawa coba? Ada yang aneh dari ku?

"Kenapa ketawa sih?!"

"Lagian kamu tumben banget ngomongnya aku-kamu, biasanya gue-lo." Oh itu ternyata alasan Raza tertawa. Ya mungkin tadi aku keceplosan berkata 'aku' padanya.

"Yang kok diem sih?" Tanya nya sekali lagi.

"Za," panggilku.

"Kenapa?" Oh Tuhan, mata nya sangat indah sekali.

"Kayaknya aku hamil."

Raza terkejut bukan main. Ia tidak menjawab pernyataanku. Aku tidak tau apakah dia senang atau sedih.

"Za! Ih kok malah diam sih?!"

Lalu sedikit demi sedikit ujung bibir Raza melengkungkan senyuman. Tetapi aku masih diam.

Tiba-tiba dia memelukku dengan keras.

"Aduh, Za,  sakit ah!"

"Ya Tuhan, makasih banget engkau telah menjadikanku seorang ayah."

"Za-" aku memberontak saat ia memelukku.

"Yang kamu tuh gak tau apa aku lagi senang banget." Lalu ia melepaskan dekapannya.

"Iya-iya, maaf."

"Gak gak kamu gak perlu minta maaf, sekarang juga kita bilang ke papa sama mama aku."

"Besok aja ah, aku capek."

"Oke deh kalo gitu aku mau siap-siap ngampus aja." Lah ini orang jadi bersemangat banget pergi ke kampus.

"Tadi katanya gak mau pergi." Aku curiga, pasti ada apa-apa nya.

"Iyalah sekarang kan sudah semangat. Aku mau bilang ke Theo dan Danur kalau sebentar lagi aku akan jadi calon ayah," ucapnya sambil tersenyum. Lalu ia bangkit dan pergi meninggalkanku sendirian di taman.

Rasanya aku senang sekali. Kewajibanku menjadi istrinya sudah terpenuhi satu poin. Aku akan menjadi ibu dari anak-anaknya nanti.

🍃

Razarena | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang